Sunday, 16 November 2014

Bukan Mimpi

RS, Cahaya.
Rabu, 13 April 2011

03.50 PM

               Itu dia. Sederet bangunan putih dan beberapa pohon beringin tampak di depan sana. Aku memacu kedua kaki lebih cepat, secepat peluru nyasar jika bisa. Cuaca cerah hari ini berhasil membuat kepalaku terasa berdenyut. Aku berusaha mengabaikannya ketika melewati pohon beringin pertama, tampak begitu rindang. Bayangan teduh di bawahnya menggodaku untuk bersantai sejenak. Tapi tidak, sekarang giliranku untuk menjaga ibu.
                Aku menghela napas kecil ketika mengingat kondisi ibu yang baru saja selesai menjalani operasi pengangkatan tumor di sekitar rahimnya kemarin. Lalu, bayangan adik ibuku-yang telah menanti kedatanganku selama satu jam lebih di sana-melintas. Buru-buru aku berlari kecil di jalan yang sepi ini. Tentu saja, ini jalan belakang rumah sakit. Akan lebih cepat bagiku untuk sampai jika melewati jalan ini.
                Masih berjarak 14 meter dari pintu masuk, tiba-tiba saja turun gerimis. Tepat di saat kakiku berhenti di pohon beringin kedua. Hujan panas, batinku berbisik. Langkahku berhenti, mungkin tidak akan lama. Aku teringat ucapan seseorang, di saat hujan seperti ini akan banyak makhluk halus yang berkeliaran. Sialan.
                Aku mengurungkan niat untuk berteduh lebih lama lagi. Setelah memandangi seluruh bagian pohon rindang itu, aku berlari menuju gerbang. Tepat di saat hujannya mulai lebat.
                Kamar kelas 3 ini sangat bersih. Beruntung bagiku karena hanya ibu yang menempati kamar ini. Setidaknya aku bisa berleluasa di ranjang sebelah. Dengan selembar kertas A4, aku mulai membuat sketsa di atasnya. Berusaha membunuh kejenuhanku di tempat yang dipenuhi aroma obat dimana-mana.

                                                                              ***
                11.45 PM

               Sayup-sayup terdengar suara orang memanggil. Aku membuka mata, terkejut menyadari aku telah tertidur di kursi. Ibu sedang tersenyum menatapku. Rona pucat di wajahnya sudah sedikit memudar. Lalu ia terbatuk disertai ringisan kecil. Aku panik.
                “Kalau batuk jahitannya pasti sakit.” Bisiknya pelan.
                “Mama yang kuat, ya? Harus bisa tahan,” Aku berusaha menyemangati ibu, meskipun aku sangat tak tega melihatnya. Seandainya rasa sakit itu bisa dibagi, aku rela.
                Ibu kembali tertidur. Aku berencana untuk membeli beberapa makanan di cafetaria di ujung bangunan ini. Begitu melihat tumpukan roti, susu, minuman isotonik serta buah-buahan di atas meja kecil di sebelahku, rencana itu terurungkan.
                Saat menikmati makanan yang sebenarnya bukan untukku, aku mendengar suara gaduh melintas di lorong depan. Mungkin pasien yang di bawa ke UGD. Perasaan tak enak menyerbuku dengan bayangan aneh. Bagaimanapun, tidur di sini sama saja tidur bersama orang mati meski tak seruang. Aku menggeleng kecil, mencoba mengusir spekulasi tentang rumah sakit ini yang bisa membangkitkan bulu roma. Juga mengusir seekor nyamuk yang  terbang melintas di dekat telingaku bagai mobil F1.

***
01.25 AM

               Suara rintihan menyadarkanku dari tidur dengan posisi menyakitkan. Dengan malas aku menegakkan tubuh. Merenggangkan kedua tangan dan melemaskannya. Lebih baik jika aku pindah ke atas ranjang sebelah. Saat memutar tubuh itu lah, aku melihatnya.
                Tirai putih gading yang di tutup rapat di sekeliling ranjang sebelah ibuku. Wow. Sepertinya aku tertidur layaknya orang tewas. Bahkan ada pasien yang masuk pun aku tak menyadarinya. Samar-samar tercium aroma amis. Bukan amis seperti ikan, tapi darah. Kukira bau darah hanya seperti campuran antara karat dan garam. Uhg, aku tak tahan.
                Penasaran aku mencoba melirik ke balik tirai itu. Hening. Di sisi lain ranjang terlihat bagian yang tak tertutupi. Dengan langkah pelan hampir menjinjit aku mendekatinya. Tampak seorang ibu yang memeluk seorang bayi. Aku heran bayi itu hanya terdiam, tak bergerak. Mungkin sedang tertidur. Rambut sang ibu sangat berantakan, terikat asal begitu saja. Yang lebih mengagetkanku, seluruh bagian paha hingga ujung kakinya berlumur darah. Membasahi permukaan ranjang di sekitarnya dengan noda merah tua kecokelatan.
                Aku meringis dengan mimik ngeri bercampur iba. Wanita itu bergerak memunggungiku. Sepertinya ia menyadari kehadiranku yang mengintipnya diam-diam. Dengan perasaan tak nyaman aku kembali ke sisi ranjang ibuku. Memindahkan kursi ke sebelah kirinya. Lalu menutup rapat tirai di sekelilingku. Dengan sedikit gemetar, aku mengeluarkan earphone dari ransel, memasangnya dengan cepat dan menyetel lagu Ignorence milik Paramore dengan volume tinggi. Sampai aku tertidur lagi.

***
05.37 AM

                Kali ini, sebuah tepukan dan guncangan kecil di punggung yang membangunkanku. Pandanganku masih kabur ketika melihat sosok putih dan hitam yang berdiri di sekitarku. Aku menggucek pelan, ternyata suster dan kakak.
“Kenapa kamu tutup tirainya? Tumben gak tiduran di ranjang,” tanya kakak, tangannya sibuk mengupas kulit jeruk. Aku teringat wanita kemarin, mungkin aku bisa mengobrol dengannya sekarang, sekaligus meminta maaf karena telah mengintipnya diam-diam.
Aku melirik ke arah ranjang sebelah. Hampir saja aku terkena serangan jantung saat melihat ranjang yang putih bersih dengan tirai yang tersingkap.
“Suster, semalam ada pasien yang masuk ke kamar ini, ya? Sekarang dia ada di  mana?” tanyaku penasaran. Suster itu merengut.
“Gak ada pasien yang masuk kok, dek. Kenapa?” ungkapnya dengan melempar balik pertanyaannya kepadaku.
Hei! Apa ini? Aku yakin 100% wanita dengan bayi dan darah itu ada di situ. “Emm..Enggak ada apa-apa,sih. Pengen tahu aja,” jawabku berbohong. Tidak mungkin aku bermimpi. Semuanya sangat nyata.
“Dek, itu leher sama tangan kamu kenapa?” tanya kakak, ada nada khawatir tersirat di dalamnya. Aku menoleh, mendapati bentol-bentol dengan bentuk dan ukuran yang  tak wajar menghiasi tubuhku. Terasa sangat gatal dan panas ketika aku menyadarinya. Aku berseru panik.
“Kamu gak ada salah makan kan?” tanyanya lagi, aku menggeleng. Aku tak punya alergi pada apa pun kecuali debu dan asap.
“Apa semalam kamu mandi di sini? Mungkin airnya yang buat alergi.”
Aku terhenyak beberapa saat untuk berpikir. “Kemarin, pas hujan panas aku sempat berteduh di bawah pohon beringin di belakang, Kak. Habis itu, aku lupa bersihin badan.”

“Hmm..mungkin karena kemarin nih, Dek. Takutnya ada yang ngikutin kamu.” Sahut suster itu.
                                                                   ***

Monday, 10 November 2014

Trully, Madly, Deeply Hate You

Rangga

Mungkin aku hanya seorang pengecut yang bersembunyi di balik bayang semu. Mencoba meraihmu dalam kegelapan itu. Lalu menyesalinya karena hanya terjadi dalam khayalku.
Aku ingin tahu arti dari senyum itu. Sesuatu yang asing menarik perhatianku di sana. Menggodaku untuk menyentuhnya.
Hati ini mulai berlari setiap melihatmu. Dan bayangmu selalu terbawa disetiap tarikan napasku. Membuatku merasa tak ada kehidupan lain setelahnya. Tanpa pernah kamu tahu.
Aku berusaha mencari kalimat itu disetiap bait kata yang tertutur. Tapi tak pernah menemukannya. Membuatku merasa kita tidak dipertemukan untuk menyatu. Bayangmu perlahan memudar. Segalanya terasa buram hingga garis tepi jiwaku. 
Dimana pun kamu berada, mungkin suatu hari nanti. Sekalipun Tuhan tak mengijinkanku.

                 ***

Tujuh tahun kemudian

Rangga memutar lagu itu untuk kesekian kalinya. Life after you milik Daughtry. Lagu itu selalu membawa sebuah kenangan khusus baginya. Begitu indah hingga terlalu menyakitkan untuk dikenang.
Ia tahu gadis itu akan datang ke pantai ini setiap ulang tahunnya. Melepas semua bebannya pada lautan bersamanya. Tapi tidak lagi, semenjak kejadian itu yang bagi Rangga tak pernah adil baginya.
"Aku tahu siapa kamu sebenarnya," ucapnya saat itu dengan datar, terkesan dingin. Sedangkan angin pantai begitu cerah. Rangga hanya terdiam
"Semuanya cukup sampai di sini, kamu gak perlu nemuin aku lagi." Sambungnya pelan, berusaha menahan air matanya.
"Maksud kamu? Aku gak ngerti, apa yang kamu bahas?" tanya Rangga dengan bingung bercampur takut.
"Aku udah tahu semuanya, Ga. Kamu gak baik buat aku." Cinta berkata lebih kasar. Seolah ia lupa siapa makhluk yang sekarang berdiri di hadapannya. Baru saja Rangga membuka mulut, dengan cepat ia memotongnya.
"Kak Eno udah kasih tahu semuanya ke aku kalau kamu.." Cinta terdiam, tak berani melanjutkan kata-katanya.
"Aku apa?! Kamu percaya gitu aja dengan ucapan cowok brengsek itu?!" Teriak Rangga dengan frustasi. Ia membuang muka ke pasir yang terasa kasar digenggamannya.
"Yang aku tahu, aku bukan satu-satunya pacar kamu." Katanya dengan sedikit terbata. Cinta berlalu begitu saja. Tanpa pernah menolehnya lagi.
Rangga menghela napas. Menggelengkan kepalanya dengan keras, berharap kenangan itu bisa rontok dari ingatannya. Ia begitu kecewa, semudah itu Cinta percaya dengan ucapan orang lain tentangnya. Yang kebenarannya tak pernah dibuktikan. Hanya karena beberapa alasan, ia memutuskan segalanya.
Ia kembali menatap gadis itu di ujung sana. Sedang tertawa dengan es krim yang meleleh di tangannya. Rangga menahan nalurinya untuk tidak berlari menghampiri gadis itu. Disusul seorang pria dengan rambut sebahu, berusaha memeluk Cinta dari belakang lalu menangkap tangan lainnya yang bebas. Sesuatu menusuk hatinya, Rangga tak bisa mengalihkan perhatiannya.
Pria itu berbisik padanya lalu berlari meninggalkan Cinta seorang diri. Ia sudah tak tahan, ini saatnya. Rangga berlari cepat ke arah gadis itu.
"Cinta!" Teriaknya dengan senyum kecil. Gadis itu menatapnya terkejut. Senyumnya lenyap seketika.
"Boleh bicara sebentar?" Rangga memohon dengan sedih, dengan sepelan mungkin mencoba menyentuh tangan halus Cinta. Gadis itu membiarkan Rangga membawanya di balik sebuah batu besar di sisi lain pantai. Tempat favorit mereka dulu.
"Aku gak bisa, Ga." Ucapnya pelan, bahkan sebelum Rangga bertanya. Ia tak berani menatap matanya.
"Cuma sekali ini, dulu kamu pernah janji sama aku, kamu masih ingat, kan?" pinta Rangga, berharap Cinta bisa mengingat perkataannya dulu. Saat mereka berjanji dengan matahari terbenam. Cinta menggelengkan kepalanya.
"Kenapa? Apa kamu udah gak kenal aku lagi?" tanya Rangga dengan suara bergetar, tenggorokannya terasa tercekat.
"Bunda!" teriak seorang gadis kecil dengan rambut yang berkibar di terpa angin pantai. Gadis kecil itu memeluk Cinta dengan erat.
"Bunda sama siapa? Om ini teman Bunda?" tanyanya polos. Ia menatap Rangga dengan malu. Cinta berbisik kecil ke telinga gadis itu, entah apa yang di ucapkannya hingga gadis itu meloncat kesenangan, berlari kembali ke pondok mereka.
Rangga terdiam. Perlahan kakinya melangkah mundur menjauhi Cinta. Kedua matanya terasa panas, ia tak bisa tersenyum lagi. Bayangan Cinta mulai memudar, menghilang diantara bebatuan.

                 ***

Cinta

Aku masih menantimu di dalam keheningan. Berharap dapat mengenggam waktu agar bisa bersamamu meski hanya untuk semalam. Menghabiskan hidup berdua untuk tertawa. Sayang, itu hanya terjadi dalam khayalku.
Aku masih mengingat saat itu. Ketika aku melihatmu untuk pertama kalinya, tersenyum. Tapi bukan untukku. Cukup melihatmu beberapa saat saja bisa membuatku bahagia. Aneh. Tapi itu yang aku rasakan, aku ingin kamu tahu itu.
Bagaimana aku tahu kemana aku akan pergi? Sedangkan bayangmu tak ingin enyah dari pikiranku. Mengesalkan. Seolah ada api yang menyala, terlalu besar hingga membakarku. Memaksaku untuk menjauh. Terlalu jauh hingga terasa menyesakkan hatiku. Segalanya terasa menyakitkan ketika kenyataan itu menyadarkanku, atau menipuku. Segalanya telah terlambat sekarang.
Kamu dan aku. Benar atau salah. Tak seorang pun diantara kita bisa melewatinya. Mungkin kita memang di takdirkan untuk bertemu, tapi tidak untuk bersama.
Tanpamu, Tuhan pun tahu jika aku merasakannya. Sekalipun waktu akhirnya menemukanku. 

***

Sunday, 26 October 2014

A Princess of Neal

"Briana! Berhenti!" Teriak seorang gadis berkulit hitam. Briana terus berlari hingga ia menemukan portal ketiga di balik semak. "Jangan! Jangan masuk ke sana!" Teriaknya histeris. Terlambat, Briana telah menghilang dengan satu langkah melewati gerbang platinum itu. Gadis itu hanya memeluk udara hampa, sedetik saat Briana menghilang. "Sir, ia pergi lagi." Bisiknya sambil memencet sebuah tombol kecil di belakang telinga kanannya.
            ***
Briana terjatuh di atas rerumputan kasar yang lembab. Tak jauh dari sebuah sungai kecil yang dipenuhi bebatuan merah. Ia berdiri dengan sedikit tertatih, menatap sekelilingnya dengan siaga. Mungkin saja ada prajurit lain yang menyusulnya ke sini, berusaha membawanya kembali ke kota Neal. Tidak, para prajurit itu tak akan bisa menghentikannya. Ia telah bertekad untuk menemukan permata itu di sana, ia tak ingin kembali dengan sia-sia.
Sebuah monitor kecil—dengan model jam tangan—terbuka dipergelangan tangan kirinya. Sesosok pria tampan muncul di dalamnya. "Di mana aku sekarang? Apa aku telah sampai di portal ketiga?" Tanya Briana pada pria yang mencoba mengamati lingkungan hijau di sekelilingnya. Semua tanaman di sana besar-besar. Seolah Briana menyusut menjadi liliput. "Kurasa, ya. Alam disekitarmu mirip dengan keadaan bumi ratusan juta tahun lalu." Pria itu mengusap-usap dagunya yang mulus. "Jadi, bagaimana dengan makhluk itu? Binatang yang kau ceritakan padaku? Apa mereka di sini" Briana berkata dengan suara sedikit bergetar. Meskipun ia berani, tapi ada secercah perasaan was-was dibenaknya. "Kau membawa kapsul kecil itu? Aku menyimpan sebuah senjata untuk melindungimu di dalamnya." Ucapnya datar. Briana mengangguk kecil, merasa kesal dengan nada bicaranya yang selalu formal. "Makhluk sejenis Kaiju itu hanya beraktivitas di malam hari. Kau masih punya beberapa jam lagi untuk mencapai puncak gunung di belakang bukit itu." Tambahnya lagi. Briana menoleh ke arah bukit kecil di belakangnya. Gunung itu sangat tinggi, mustahil ia akan sampai di sana dalam waktu cepat. Meskipun data tentang tiga portal kuno yang ia dapat dari Joan—cowok tampan yang aneh—itu diyakininya telah valid, sedikit sirna ketika ia menatap hamparan gunung hijau itu. Ada yang aneh di sana. Seperti...sesuatu telah menanti kedatangannya. Setidaknya itu yang ia rasakan saat ini. "Jauhi hutan dan gua, intinya kau harus berada di tempat yang lapang." Saran Joan dengan cepat. "Ku harap senjata ini berfungsi." Ucapnya pelan, menutup layar monitor dengan lambat.

           ***
"Kenapa kalian begitu ceroboh?!" Seru komandan Voltair. Ia memarahi orang-orang yang telah bertugas mengejar Briana. Semuanya menunduk. Komandan Voltair membalikkan badannya, menghadap dinding kaca di seberangnya. Kerutan-kerutan di wajahnya terbentuk jelas jika ia marah. Kepalan tangannya juga semakin kuat. Tak ada objek untuk melampiaskan kekesalannya saat ini.
"Joan! Apa kau telah menemukan lokasi dimana Briana sekarang?" Tanya komandan Voltair, menghampiri anak buahnya yang menatapnya lurus ke depan.
"Sudah, Sir. Ia telah sampai di portal ketiga." Ucapnya datar. Mata birunya tak menatap komandan Voltair.
"Bagus. Sekarang kalian bersiap untuk melintasi portal yang telah dilewati Briana tadi." Perintah komandan Voltair dengan nada tegas. Tak terbantah.
"Tidak, Sir." Sahut Joan dengan nada datar lagi.
"Apa kau ingin membantah perintahku?" Tanyanya dengan suara meninggi. Jelas komandan Voltair merasa tersinggung jika ia dibantah. Ia terlalu keras kepala.
"Tidak, aku tak bermaksud begitu, Sir. Bagaimana pun, portal itu hanya bisa dilewati sekali. Jika ada orang yang melintasi portal itu setelahnya, sudah dipastikan bahwa ia akan menghilang entah ke mana. Mungkin saja orang itu bisa menghilang melampaui cosmic horizon. Kita tak akan pernah bisa menemukannya." Jawab Joan dengan serius, mereka semua yang memperhatikan berubah gusar. Jelas mereka sangat ragu untuk melewati portal yang baru saja dilalui Briana beberapa saat lalu. Komandan Voltair juga gelisah. Pikirannya sedang buntu.
"Kita tak bisa membiarkannya bermalam di sana. Terlalu berbahaya." Sanggah komandan Voltair, mencoba mendapat dukungan dari prajuritnya.
"Aku akan mencari jalan lain. Mungkin aku bisa menyadap beberapa satelit di luar sana. Ingat, di tubuh Briana ada chip pelacak." Joan berkata dengan cepat. Komandan Voltair mengangguk sekali, mempersilahkan Joan untuk meninggalkan ruang kacanya.
              ***
Sekarang memang masih siang. Tapi ia bisa melihat beberapa planet hampa di ujung sana, bersama asteroid di sekelilingnya. Ia telah melintasi beberapa galaksi melalui dua portal kuno yang tersebar di beberapa planet yang baru saja ia kunjungi. Sekarang Briana telah sampai di portal ketiga, yang terakhir menurut Joan. Ia menembus semak-semak lebat dengan pedang yang dialiri listrik berdaya tinggi. Kulitmu akan hangus jika tersentuh dengan ujungnya. Ia berjalan sangat cepat, hampir berlari. Berusaha mencapai tebing di ujung sana. Briana tahu ada sesuatu yang mengamatinya di balik bayang-bayang pepohonan. Sesuatu yang besar dan bengis.
Briana sampai di ujung tebing. Aneh, ia tak merasakan lapar atau haus di dari tadi. Apa mungkin ini efek dari melintasi portal-portal tadi? Briana kembali melihat sekitarnya. Ia memanjat perlahan, hingga sampai di puncak bukit yang dekat dengan tujuannya. Tak ada pepohonan dari bukit hingga ke gunung itu. Briana merasa sedikit lega, ia yakin makhluk sejenis Kaiju itu tak akan mendekatinya. Monitor kecil di pergelangannya kembali terbuka. Joan. Ia tampil dengan wajah panik.
"Sekarang apa lagi? Apa ada masalah dengan tempat lapang?" Tanya Briana sarkatis.
"Ini demi keselamatanmu, Briana." Sahut Joan lembut.
"Komandan Voltair telah tahu keberadaanmu, ia akan mengirim beberapa prajurit ke sana. Hati-hati." Ucap Joan, "Ingat, kau harus mendapatkan batu permata itu sebelum mereka. Kau dalam bahaya." Sambungnya lagi. Briana hanya terdiam. Ia memang berada dalam bahaya sejak melangkah ke portal pertama. Itu tak mengagetkannya. Joan mematikan sambungan mereka.
               ***
Entah ini dinamakan malam atau apa di planet ini. Yang jelas, semuanya sangat gelap. Briana memilih menghentikan langkahnya di sini, ia tak yakin apa yang akan di temuinya di depan sana. Tapi ada satu yang menarik perhatiannya di sini. Begitu banyak kilatan cahaya.
Ada sebuah suara gaduh di bawah sana, di dalam lebatnya hutan. Mungkin beberapa kaiju sedang bergulat di sana. Lalu, sebuah hembusan angin yang kuat menerpanya. Ia terpelanting ke belakang dengan kaget. Briana merasakan nyeri hebat di kepalanya. Samar-samar, ia melihat sesuatu yang tingginya kira-kira empat meter mendekatinya. Kulit makhluk itu bercahaya. Sangat indah. Briana melupakan ketakutannya atas merasa terancam. Ia sungguh terpesona dengan makhluk itu.
Ia bangkit perlahan. Menatap makhluk yang berdiri tepat di depannya. Makhluk itu mengulurkan tangannya perlahan, entah itu pantas disebut tangan atau tidak tapi tampak seperti itulah bagian tubuhnya itu. Briana mundur selangkah, mungkin makhluk itu ingin melukainya batinnya berbisik. Ternyata dugaannya salah, makhluk itu tak menyerangnya. Ia menempalkan sesuatu yang tampak seperti tangan itu ke kening Briana. Lalu, beribu gambar tersingkap di otaknya, di dalam pikirannya.
Briana terkesiap. Ia tahu semuanya sekarang. Makhluk ini, makhluk sejenis Kaiju yang ditemuinya ini bukan pemangsa. Joan salah. Baru saja makhluk ini mentransferkan sebuah pengetahuan baginya. Mereka memiliki kemampuan seperti telekinesis. Mereka juga bisa mengetahui masa lalu Briana dengan menyentuhnya. Mereka tahu kalau Briana seorang putri. "Aku mencari sesuatu, permata biru." Ucap Briana melalui pikirannya. Lalu gambar itu terlintas, permata biru yang indah. Berada di puncak gunung. "Apa kau bisa mengantarkanku berjalan ke sana?" Tanyanya lagi. Makhluk itu menolak. Briana memejamkan matanya, menghembuskan napas hangatnya perlahan, kecewa. Lalu, betapa kagetnya ia sekarang. Bagaimana caranya ia bisa sampai ke puncak gunung secepat itu? Ia berdiri diantara bebatuan merah bercahaya. Tapi ia tak bisa menemukan permata biru itu. Sejauh ia memandang, hanya ada bebatuan merah. Makhluk itu masih di sampingnya. "Di mana permata biru itu?" Tanya Briana kebingungan. Tangan makhluk itu menyentuhnya lagi. Briana terjatuh karena langkah mundur tiba-tibanya. Joan salah lagi. Permata biru itu tak pernah ada.
Awalnya permata biru itu hanya sebuah mitos bagi mereka yang menginginkan kekuatan luar biasa. Melampaui semua kekuatan di jagat ini. Tapi makhluk itu telah memusnahkan permata biru itu di dalam diri mereka kerena banyak makhluk lain yang ingin mendapatkannya dengan mengganggu mereka. Akhirnya, zat yang terkandung di dalam permata biru itu merubah sel-sel dan sistem jaringan tubuh mereka. Dan benar, permata biru memiliki kekuatan.
Ia bingung mengapa Joan bisa sekeliru ini. Meskipun Joan telah mengalami pembekuan Cyrogenic selama beberapa dekade, ia yakin bahwa kecerdasan Joan adalah kunci utamanya berada di sini. Di Alaestar.
"Apa Joan ingin menipuku?" Ucap Briana mengeluarkan senjatanya.

Monday, 20 October 2014

Hujan


Satu persatu orang-orang datang berlarian ke arahnya. Melindungi diri mereka dari hujan dengan berbagai benda. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah seorang pria yang baru saja turun dari sepeda motor tak jauh dari tempat ia berdiri. Pria itu mengenakan sepatu reebok pump warna putih. Seluruh pakaiannya basah kuyup, kecuali sebuah benda yang dilindunginya dibalik jaket parasut biru terang. Wanita muda itu masih memperhatikan gerak-gerik pria itu. Ia sedikit terpesona ketika pria itu menyisir rambut sebahunya dengan semua jarinya ke belakang. Lalu, ada perasaan tak asing mendekatinya. Tanpa sadar, ia berjalan mendekati pria itu. Semakin ia mendekat, perasaan tak asing itu semakin kuat. Ia mengenali pria itu. 
"Mira?" Ucap pria itu dengan ragu ketika mata mereka bertemu pandang.
"Kamu Mira, kan?" Tanyanya sekali lagi, Mira sedikit terkejut ketika pria itu menyebut namanya. Ya, ia tidak salah. Mereka memang pernah saling mengenal.
"Ini aku, Andre. Kamu gak ingat?" Tanyanya sekali lagi. Mira masih terdiam. Memorinya sedang berputar dengan cepat. Mencari kenangannya bersama Andre. Ingatannya berhenti di sebuah tempat kecil yang tersembunyi dari siapa pun. Bahkan dari dirinya sendiri.
Tiga belas tahun yang lalu, saat mereka masih berstatus murid sekolah dasar. Andre adalah objek tempat ia melampiaskan k ekesalannya. Tapi Andre tak pernah marah atau membalasnya. Ia justru merasa senang, ketika murid perempuan lainnya memuja ketampanannya, Mira justru melakukan sebaliknya.
"Aku heran, kamu gak pernah marah kalau aku jahatin kamu, kenapa?" Tanya Mira saat mereka berjalan kaki sepulang sekolah.
"Aku juga gak tahu, Mir. Tapi, kata mama aku, kalau ada orang lagi marah-marah, kita harus tenang."
Mira hanya mengangguk tak mengerti.
Sekarang ia mengingatnya. Ia tetap tampan seperti ingatannya dulu. Lalu timbul perasaan hangat di benaknya. Ia berlari kecil memeluk Andre. Pria itu sedikit kaget karena Mira memeluknya di depan semua orang. "Apa kabar? Udah berapa lama ya kita gak ketemu?" Tanya Andre disela senyumnya "Belasan tahun mungkin. Udah lama banget, aku jadi kangen masa kecil dulu." Ucap Mira terkekeh "Sekarang kamu feminim ya? Gak se-tomboi dulu," Ledeknya, matanya menatap wajah Mira dengan teliti. "Kamu udah berubah sekarang," Sambungnya. Mira merasa sedikit malu dengan kelakuannya terhadap Andre waktu kecil. "Yah, mau gimana lagi? Waktu terus berjalan, kan? Ngomong-ngomong, kamu juga berubah, Dre." Mira menatap wajah Andre yang masih basah oleh hujan. Ia teringat dengan tisu di dalam tas tangannya. Tanpa berkata, ia mengelap wajah Andre dengan tersenyum. "Kamu, nungguin siapa di sini?" Tanya Andre ketika Mira menyerahkan tisunya. Mira terdiam sejenak, "Calon tunangan aku," Raut wajahnya berubah muram. "Kenapa kamu jadi sedih, gitu?" Andre merasakan sesuatu yang menjanggal hatinya, sesuatu yang sudah terlalu lama ia pendam hingga terlupakan, kembali menyeruak dibenaknya. "Aku dijodohin, aku gak suka sama dia." Wajah Andre berubah gusar. Baru saja ia bertemu dengan wanita yang telah lama hanya menjadi bayangan baginya. Sekarang ia harus melepaskannya lagi. "Kamu gak bisa nolak?" Usul Andre, meskipun ia tahu itu tak mungkin. "Aku udah nolak dari awal, Dre. Kalau aja rencana aku bisa dijalankan, mungkin orang tua aku gak akan ngejodohin aku dengan dia lagi." "Rencana?" Perasaan bingung dan penasaran bergulat di depan matanya. Apa ia bisa membantu Mira? "Aku harus punya calon suami sendiri. Saat itu, mereka gak akan berani jodohin aku lagi, Dre. Kata mereka, aku terlalu lama sendiri, terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan sampai-sampai lupa dengan kewajiban menjadi istri." Mira tersenyum miris. Seandainya Andre tahu apa yang ia rasa, mungkin ia tak perlu mengalami ini semua. Suara klakson dari sebuah mobil kijang kehijauan terdengar dibunyikan berkali-kali. Mira memberi isyarat pada Andre bahwa jemputannya telah datang. Andre melihatnya berlalu dengan perasaan bergetar. Ia tak bisa melepaskannya lagi. Ia harus melakukannya. Seandainya ia tahu apa yang dipikirkan Mira, mungkin ia tak perlu bersusah hati saat ini. Mira melepaskan jasnya sebagai pelindungnya dari tetesan hujan deras. Ia masih mengingat kata-kata Andre barusan. "Rencana kamu, akan kita wujudkan nanti."

Sunday, 12 October 2014

UNKNOW

Cora menatap langit barat yang mulai berubah warna. Kuning keemasan, merah muda, keunguan, lalu gelap saat matahari telah bergulir ke sisi lain bumi. Langit yang tadinya cerah, telah meninggalkan mereka bersama kegelapan. "Berapa lama lagi kita akan menunggu di sini?" Sam tak dapat menahan rasa gelisahnya. Sesekali ia melirik ke arah tumpukan tubuh tanpa nyawa yang berlumuran darah di ujung pantai di pulau tanpa penghuni ini. Ia tak ingin bergabung dengan tumpukan itu. Cora membenamkan kedua kakinya di pasir dalam-dalam. Merasakan ribuan butiran kasar yang lembab menyelimuti kulitnya. Sekali lagi, ia menghirup udara asin lautan dengan perlahan. Membiarkan uap napasnya membeku di udara. "Entah lah, Sam. Kau ingat apa yang dikatakan Jase?" Sam terdiam. Napasnya berpacu dengan pikirannya, mencoba mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. *** "Kalian melihatnya?" Jase menunjuk sebuah pulau kecil yang tampak eksotis. Sebuah gumpalan awan kelabu yang begitu gelap menggantung di atasnya. Hujan lokal. Dari kapal ini, awan itu tampak seperti jamur raksasa. Anehnya, hujan itu berhenti ketika kapal mereka mendekati tepian pantai yang sangat bersih. Tak ada siapa pun di sana. Jase melompat turun, lalu mengulurkan kedua tangannya untuk Cora. Kesembilan orang itu berjalan memasuki hutan. "Danau itu ada di dalam hutan? Seberapa jauh?" Sam mencoba mengejar langkah Jase—yang menggandeng erat tangan Cora—dengan sedikit terpeleset. Tanah yang mereka injak begitu becek dan licin, seakan beribu ranjau tertanam di balik rerumputan yang membuat mereka harus berhati-hati disetiap langkah. "Sekitar seratus meter ke tengah hutan, perhatikan langkahmu, Sam." Jase menunjuk sebuah kubangan lumpur di depan Sam, hampir saja ia mendaratkan kakinya di dalam sana. "Pernah mendengar cerita orang yang mati tragis oleh penunggu pulau ini?" Tanya Sam. "Jangan membahasnya, atau aku akan membunuhmu." Ucap Jase setengah bercanda. Mereka terus melangkah semakin dalam ke hutan yang cukup lebat itu. Di ujung sana, atau di tengah hutan lebih tepatnya, tampak kilauan yang begitu indah. Danau Tee. Mereka sampai di tepian danau dengan perasaan yang berlonjak, memuji keindahan suasana di sekeliling mereka. Sam yang paling bersemangat diantara mereka, tanpa berkata lagi ia langsung melepas baju dan melompat ke dalam air danau yang sangat jernih. "Tolooong!" Teriaknya begitu kepalanya muncul di permukaan air. Semua panik, tapi Jase tetap bersantai di atas tikar anyaman yang baru saja di gelarnya, mengupas apel dengan pisau kecil. "Kau sangat pintar, Sam. Semua tahu kau hebat dalam hal renang, jangan menipu kami." Sam menggapai air dengan liar, "Kakiku kram!" Teriaknya disela tarikan napas yang masuk bersama cipratan air di dalam mulutnya. Dion—yang tadinya ragu untuk menolong Sam—langsung meloncat dengan pakaian lengkap. Ia memeluk Sam dari belakang, menyeretnya ke tepi danau. Jase langsung menyusul mereka ke dalam air. Sam dan Jase langsung mencapai batang pohon yang karam di atas rumput yang terendam air, tapi tidak dengan Dion. Lelaki itu terdiam, tubuhnya dikelilingi genangan merah. Ia terbatuk, dengan darah segar yang keluar melalui mulut dan hidungnya. Cora dan yang lainnya tercengang, Jase dan Sam langsung melompat keluar dari air. Semua mata masih terpaku pada tubuh Dion yang perlahan ditelan air. "Jase! Dia tenggelam! Lakukan sesuatu! Selamatkan dia!" Teriak Cora panik. Teriakan Cora disusul teriakan yang lainnya. Bukan teriakan panik, tapi kesakitan. Cora menoleh dan melihat tiga temannya tersungkur. Sesuatu menyerang mereka, tubuh mereka tersayat. "Lari, Cora!!" Jase berlari menyeret Cora bersama Sam dan dua orang lainnya. Hampir setengah perjalanan, mereka bisa melihat pantai di ujung sana. Sebuah pohon terjatuh tepat ketika Cora, Jase, dan Sam telah melintas. Pohon itu menindas dua teman mereka di belakang. Cora histeris melihat tubuh mereka tertusuk dahan pohon, remuk. Jase kembali menyeretnya berlari. "Di mana kapal kita?" Sam kaget begitu mereka sampai di tepi pantai. Cora melihatnya, di tengah sana, kapal mereka yang di goyah arus ombak. Angin bertiup kencang. Tapi cuaca begitu benderang, cerah tanpa awan. "Aku akan berenang ke sana, membawa kapal itu kemari." Dan kekagetan Sam bertambah saat ia melihat tumpukan mayat teman-temannya di ujung pantai. Bagaimana bisa mayat itu tiba-tiba tergeletak di sana? Cora dan Jase juga melihatnya. "Tenang, Cora. Kalian tunggu di sini. Aku akan segera kembali," Cora menyadari ada yang aneh di pulau ini. Sesuatu tak menginginkan kehadiran mereka. *** "Aku akan menyusulnya," Sam langsung berlari ke pelukan ombak, tanpa mempedulikan teriakan Cora. Setengah jam ia terduduk bersama mayat yang mengeluarkan aroma karat, akhirnya Cora melihat siluet seorang pria muncul dari amukan ombak kecil. Hembusan angin dingin terasa lembab di kulitnya, lalu menusuk hingga ke tulangnya, merasuki setiap sel dari pembuluh darahnya. Tubuhnya gemetar. "Mesinnya rusak! Kita tak bisa kembali ke dermaga, Cora!" Teriak Jase begitu ia menyentuh pasir yang baru saja dijilati ombak, meninggalkan buih putih. "Di mana Sam? Baru saja ia menyusulmu?" Jase terdiam, Cora menatapnya, "Maafkan aku, Cora. Dia....aku.." Cora merasakan perutnya seakan merosot turun, tenggorokannya tercekat. "Ia berusaha membunuhku, aku tak bisa membiarkannya begitu saja, Cora." Jase menunduk lemah. "Apa kau membunuhnya?" Takut, panik, sedih, dan bingung memenuhi kepalanya "Dia tak seperti yang kau kenal! Dia bukan.." Seseorang memukul kepala Jase dari belakang. Sam. Ia tampak begitu kacau, tubuhnya penuh luka besar dan darah. "Dia akan membunuhmu," Ucapnya, Cora tampak katakutan. "Aku tak percaya, kau yang.." Ada yang berbeda dari raut wajah Sam. Cora tak meneruskan kata-katanya. Sam mengerutkan keningnya, membuat luka goresnya menganga di sana. Tanpa peringatan ia langsung mengayunkan balok kayu itu ke leher Cora. Gadis itu langsung tersungkur, menyatu dengan pasir. "Kau benar, tak seharusnya kau percaya." Cora masih tersadar, ia dapat merasakan ribuan beton menghujam seluruh bagian leher dan bahunya, tulangnya patah. "Siapa kau? Kenapa kau melakukan ini?" Ucapnya terbata, ia merasakan aliran darah di dalam mulutnya, napasnya tersendat seperti orang asma. "Aku bukan manusia, Cora. Aku penunggu pulau ini.." Cora melihat Sam membalikkan tubuhnya, Sam berjalan mendekati tumpukan mayat teman-temannya. Mengayunkan tangannya dengan cepat bersama kilatan cahaya merah, lalu mayat-mayat itu terbangun. Mereka semua termasuk Jase, berdiri dengan kaku berjalan ke arahnya. Cora tak dapat mendengar apapun. Pandangannya mulai kabur. Tapi ia bisa merasakan tubuhnya melayang di dalam air. Ia tak bisa bernapas. Ia tenggelam menuju akhir.

Sunday, 5 October 2014

Don't Leave Me

Dyra terduduk lemas di atas sebuah bangku taman Situ Lembang. Senja ini, seharusnya menjadi pertemuannya kembali bersama Nathan. Ia telah menanti kedatangan pria itu sejak sepuluh hari yang lalu. Ia telah memenuhi permintaannya. Tapi Nathan tak kunjung datang. Ia tak akan pernah datang.
Mengharapkan pria itu datang padanya sama saja menanti keajaiban  pada bintang jatuh. Hati kecilnya meringis, matanya terasa panas. Ia tak akan kuat menghadapi ini. Dyra melayangkan pandangannya ke seorang anak yang sedang berayun di ayunan di seberangnya, tertawa bahagia. Ia menginginkan tawa itu, tawa bahagianya bersama Nathan. Dyra memejamkam mata, berharap Tuhan akan mempertemukannya kembali bersama Nathan. Kenangan itu kembali menghampiri benaknya.
 “Akhirnya, kesampaian juga, Ra.” Ucapnya dengan begitu bahagia,
Mereka duduk di taman itu, di atas sebuah bangku yang manghadap ke danau buatan yang berbentuk oval. Di tangan Nathan, terselip tiket liburannya menuju Bali.
“Jadi, sepuluh hari ke depan kita nggak bisa jalan bareng lagi, nih?” Dyra merasa sedih, ia ingat betul keinginan Nathan untuk berlibur ke sana. “Cuma sepuluh hari kok, Ra. Habis itu kita bisa jalan bareng lagi, jelajah kuliner lagi,” Nathan mencoba menghibur Dyra. Ia hanya tersenyum kecil, teringat kebiasaan mereka yang gemar menjajahi makanan di kota ini. Mereka telah berteman lama. Hingga rasa itu tumbuh dibenak Dyra. Rasa yang ia pikir tak pernah tumbuh di hati Nathan.
“Kamu mau minta apa sama aku?”
“Aku cuma minta kamu cepat pulang ke sini, temenin aku lagi.” Ucap Dyra dengan tawa kecil, Nathan terdiam. “Gak mau apa-apa dari aku? Pasti bohong, kan?” Dyra tertawa lagi. “Ya udah, aku bawain kacang asin aja, ya?” tawa Dyra langsung pecah, ia memang suka kacang asin.
“Ra, aku mau kasih tantangan buat kamu?”
“Tantangan?”
“Gini, dalam waktu sepuluh hari, kamu gak boleh hubungi aku via apapun.”
“Loh, kok gitu, Nat? Lagian, Kenapa harus sepuluh hari? Kelamaan.”
“Aku cuma penasaran, kira-kira selama apa kamu tahan jauh dari aku. “
“Huh, dasar. Gak mungkin aku kangen sama cowok kayak kamu.” Dyra berbohong. “ Jadi aku dapet apa kalau menang?”
“Selama seminggu, aku traktir kamu makan dimana pun kamu mau, Tapi, kalau kamu kalah. Kebalikannya.” Dyra tersenyum, tentu saja ia tak akan menolak.
“Oke, aku buktikan ke kamu kalau aku selalu menang dari kamu. Aku mau di hari kamu pulang nanti, kita langsung ketemu di taman ini.”
“Aku berani taruhan kalau kamu gak akan tahan,” Goda Nathan
Tiba hari keberangkatan Nathan. Pesawatnya telah terbang jauh, memisahkan Dyra dan Nathan. Dyra merasa semakin Nathan jauh darinya, semakin jadi pula rasa itu. Apa Nathan tak bisa merasakannya?.
Hari kesepuluh tiba, Dyra berjalan menyusuri jalan setapak di tepi danau buatan. Ia duduk menanti kedatangan Nathan di tempat yang telah mereka janjikan. Ia mendapatkan pesan dari Nathan bahwa ia sedang dalam perjalanan. Sambil menunggu, Dyra memainkan smartphonenya, membuka media sosial.  Sebuah berita terbaru melintas di balik jarinya. Sebuah pesawat terjatuh di daerah pegunungan. Pesawat itu yang di tumpangi Nathan. Jantungnya seakan di paksa berhenti. Tubuhnya melemas seketika. Ia berharap bahwa dirinya keliru. Tapi, sebuah pesan yang baru saja diterimanya dari teman Nathan membuktikan bahwa Nathan memang berada di dalam pesawat yang telah jatuh itu.
Ia menghadiri pemakaman Nathan. Semuanya terasa begitu suram. Seorang wanita tua berjalan mendekatinya. Ibu Nathan. “Dyra, saat tim penyelamat mengumpulkan jasad korban pesawat itu, mereka menemukan barang ini, di peluk erat oleh Nathan” Ibu Nathan kembali meneteskan air mata. Ia memberikan sebuah kotak kecil pada Dyra. Ada sebuah surat di atas kotak itu.
Selamat Dyra, kamu berhasil melewati tantangan ini. Selama sepuluh hari kamu gak menghubungi aku. Kamu tahu alasan aku nantangin kamu seperti ini? Seandainya suatu hari nanti aku akan pergi jauh ninggalin kamu, kamu udah terbiasa, Ra. Kamu gak akan merasakan sakitnya kehilangan aku kalau ada sesuatu yang menimpaku. Kamu tahu? Selama ini aku sangat menyukaimu, namun aku ragu. Tapi sepuluh hari ini telah mengalahkan keraguan itu, Ra. Aku sadar aku tak hanya menyukai kamu, aku mencintai setiap bagian dari kamu. Aku selalu terbayang tawa dan senyum itu, seolah mereka menghantui pikiranku. Aku menyerah, aku tak bisa berjauhan lebih lama lagi dengan kamu.
Will you be my girl?
Perlahan tulisan itu mulai kabur. Dyra terisak pelan, ia tak bisa menampung kesedihan ini. Ia berteriak sekencang-kencangnya, bersamaan dengan air mata yang mengalir deras membawa duka mendalam. Ada sebuah cincin di dalam kotak kecil itu. Nathan telah pergi jauh, meninggalkan dirinya bersama cinta yang hanya tinggal kenangan. Dyra berharap Tuhan memberikannya satu kesempatan lagi, kesempatan bersama Nathan.
Sebuah hembusan angin menerpa wajahnya. Dyra terbangun. Ia masih di taman Situ Lembang. Matanya terasa agak kabur, tapi ia bisa melihat cahaya oranye dari matahari senja. Ia mengerjap, lalu ada seorang pria yang berdiri di hadapannya. Nathan, dengan senyum mengembang menatapnya begitu dekat. Dyra melonjak. Apa ini? Mengapa Nathan ada di sini? Ia baru saja di makamkan kemarin, Dyra merasa ketakutan. Ia menjauhi Nathan beberapa langkah, Nathan tampak heran dengan tingkah Dyra yang menatapnya dengan takut, begitu ragu. Nathan mendekatinya, tapi ia mundur menjauh. Dyra masih tak percaya dengan apa yang terpampang di depan matanya.
“Kamu kenapa, Ra? Kok aneh gini sama aku?”
Dyra tak dapat menjawab
“Aku bawain ini jauh-jauh buat kamu, malah di cuekin.” Nathan menggenggam sesuatu, tampak seperti.. kotak kecil. “Aku buang aja deh,” Ucapnya menghadap ke arah teratai yang mengapung
“Nathan! Jangan!” Dyra berlari menghampiri Nathan, merampas kotak kecil itu dari tangannya. Ia membuka kotak itu, sebuah kertas kecil menutupi benda berkilau di bawahnya. Hanya ada sebuah kalimat di sana.
Will you be my girl, Dyra?
Dyra memeluk Nathan erat. “Yes, I will.” Bisiknya pelan di antara pelukannya. Nathan mengecup keningnya lembut. “Aku sayang kamu, Ra.” Dyra tertawa, ia sedikit geli mendengar kata-kata itu.
“Oh, iya, Mana kacang asin buat aku?”
Nathan mengerutkan keningnya, “Aku liburan ke Lombok, Ra? Bukan ke Bali? Kamu lupa?”
Apakah kejadian tadi hanya sebuah mimpi? Dyra tertawa kecil. “Ra, aku dapat tawaran liburan ke Bali bulan depan,”
“Nggak! Kamu gak boleh ke sana!”
“Kenapa?” Tanyanya bingung
“Aku punya acara, dan aku butuh kamu di sana.” Wajah Dyra begitu panik
“Demi kamu, aku rela gak jadi ke Bali,” Ucapnya dengan nada geli, tapi serius
“Kamu janji?”

“Janji.”