RS, Cahaya.
Rabu, 13 April 2011
03.50 PM
Itu dia.
Sederet bangunan putih dan beberapa pohon beringin tampak di depan sana. Aku
memacu kedua kaki lebih cepat, secepat peluru nyasar jika bisa. Cuaca cerah
hari ini berhasil membuat kepalaku terasa berdenyut. Aku berusaha
mengabaikannya ketika melewati pohon beringin pertama, tampak begitu rindang.
Bayangan teduh di bawahnya menggodaku untuk bersantai sejenak. Tapi tidak,
sekarang giliranku untuk menjaga ibu.
Aku
menghela napas kecil ketika mengingat kondisi ibu yang baru saja selesai
menjalani operasi pengangkatan tumor di sekitar rahimnya kemarin. Lalu,
bayangan adik ibuku-yang telah menanti kedatanganku selama satu jam lebih di
sana-melintas. Buru-buru aku berlari kecil di jalan yang sepi ini. Tentu saja,
ini jalan belakang rumah sakit. Akan lebih cepat bagiku untuk sampai jika
melewati jalan ini.
Masih
berjarak 14 meter dari pintu masuk, tiba-tiba saja turun gerimis. Tepat di saat
kakiku berhenti di pohon beringin kedua. Hujan panas, batinku berbisik.
Langkahku berhenti, mungkin tidak akan lama. Aku teringat ucapan seseorang, di
saat hujan seperti ini akan banyak makhluk halus yang berkeliaran. Sialan.
Aku
mengurungkan niat untuk berteduh lebih lama lagi. Setelah memandangi seluruh
bagian pohon rindang itu, aku berlari menuju gerbang. Tepat di saat hujannya
mulai lebat.
Kamar
kelas 3 ini sangat bersih. Beruntung bagiku karena hanya ibu yang menempati
kamar ini. Setidaknya aku bisa berleluasa di ranjang sebelah. Dengan selembar
kertas A4, aku mulai membuat sketsa di atasnya. Berusaha membunuh kejenuhanku
di tempat yang dipenuhi aroma obat dimana-mana.
***
11.45
PM
Sayup-sayup
terdengar suara orang memanggil. Aku membuka mata, terkejut menyadari aku telah
tertidur di kursi. Ibu sedang tersenyum menatapku. Rona pucat di wajahnya sudah
sedikit memudar. Lalu ia terbatuk disertai ringisan kecil. Aku panik.
“Kalau
batuk jahitannya pasti sakit.” Bisiknya pelan.
“Mama
yang kuat, ya? Harus bisa tahan,” Aku berusaha menyemangati ibu, meskipun aku
sangat tak tega melihatnya. Seandainya rasa sakit itu bisa dibagi, aku rela.
Ibu
kembali tertidur. Aku berencana untuk membeli beberapa makanan di cafetaria di
ujung bangunan ini. Begitu melihat tumpukan roti, susu, minuman isotonik serta
buah-buahan di atas meja kecil di sebelahku, rencana itu terurungkan.
Saat
menikmati makanan yang sebenarnya bukan untukku, aku mendengar suara gaduh melintas
di lorong depan. Mungkin pasien yang di bawa ke UGD. Perasaan tak enak
menyerbuku dengan bayangan aneh. Bagaimanapun, tidur di sini sama saja tidur
bersama orang mati meski tak seruang. Aku menggeleng kecil, mencoba mengusir
spekulasi tentang rumah sakit ini yang bisa membangkitkan bulu roma. Juga
mengusir seekor nyamuk yang terbang melintas
di dekat telingaku bagai mobil F1.
***
01.25 AM
Suara
rintihan menyadarkanku dari tidur dengan posisi menyakitkan. Dengan malas aku
menegakkan tubuh. Merenggangkan kedua tangan dan melemaskannya. Lebih baik jika
aku pindah ke atas ranjang sebelah. Saat memutar tubuh itu lah, aku melihatnya.
Tirai putih
gading yang di tutup rapat di sekeliling ranjang sebelah ibuku. Wow. Sepertinya
aku tertidur layaknya orang tewas. Bahkan ada pasien yang masuk pun aku tak
menyadarinya. Samar-samar tercium aroma amis. Bukan amis seperti ikan, tapi
darah. Kukira bau darah hanya seperti campuran antara karat dan garam. Uhg, aku
tak tahan.
Penasaran
aku mencoba melirik ke balik tirai itu. Hening. Di sisi lain ranjang terlihat
bagian yang tak tertutupi. Dengan langkah pelan hampir menjinjit aku
mendekatinya. Tampak seorang ibu yang memeluk seorang bayi. Aku heran bayi itu
hanya terdiam, tak bergerak. Mungkin sedang tertidur. Rambut sang ibu sangat
berantakan, terikat asal begitu saja. Yang lebih mengagetkanku, seluruh bagian
paha hingga ujung kakinya berlumur darah. Membasahi permukaan ranjang di
sekitarnya dengan noda merah tua kecokelatan.
Aku
meringis dengan mimik ngeri bercampur iba. Wanita itu bergerak memunggungiku.
Sepertinya ia menyadari kehadiranku yang mengintipnya diam-diam. Dengan
perasaan tak nyaman aku kembali ke sisi ranjang ibuku. Memindahkan kursi ke
sebelah kirinya. Lalu menutup rapat tirai di sekelilingku. Dengan sedikit
gemetar, aku mengeluarkan earphone
dari ransel, memasangnya dengan cepat dan menyetel lagu Ignorence milik Paramore dengan volume tinggi. Sampai aku tertidur
lagi.
***
05.37 AM
Kali
ini, sebuah tepukan dan guncangan kecil di punggung yang membangunkanku.
Pandanganku masih kabur ketika melihat sosok putih dan hitam yang berdiri di
sekitarku. Aku menggucek pelan, ternyata suster dan kakak.
“Kenapa kamu tutup tirainya?
Tumben gak tiduran di ranjang,” tanya kakak, tangannya sibuk mengupas kulit
jeruk. Aku teringat wanita kemarin, mungkin aku bisa mengobrol dengannya
sekarang, sekaligus meminta maaf karena telah mengintipnya diam-diam.
Aku melirik ke arah ranjang
sebelah. Hampir saja aku terkena serangan jantung saat melihat ranjang yang
putih bersih dengan tirai yang tersingkap.
“Suster, semalam ada pasien yang
masuk ke kamar ini, ya? Sekarang dia ada di
mana?” tanyaku penasaran. Suster itu merengut.
“Gak ada pasien yang masuk kok,
dek. Kenapa?” ungkapnya dengan melempar balik pertanyaannya kepadaku.
Hei! Apa ini? Aku yakin 100%
wanita dengan bayi dan darah itu ada di situ. “Emm..Enggak ada apa-apa,sih.
Pengen tahu aja,” jawabku berbohong. Tidak mungkin aku bermimpi.
Semuanya sangat nyata.
“Dek, itu leher sama tangan kamu
kenapa?” tanya kakak, ada nada khawatir tersirat di dalamnya. Aku menoleh,
mendapati bentol-bentol dengan bentuk dan ukuran yang tak wajar menghiasi tubuhku. Terasa sangat
gatal dan panas ketika aku menyadarinya. Aku berseru panik.
“Kamu gak ada salah makan kan?”
tanyanya lagi, aku menggeleng. Aku tak punya alergi pada apa pun kecuali debu
dan asap.
“Apa semalam kamu mandi di sini? Mungkin
airnya yang buat alergi.”
Aku terhenyak beberapa saat untuk
berpikir. “Kemarin, pas hujan panas aku sempat berteduh di bawah pohon beringin
di belakang, Kak. Habis itu, aku lupa bersihin badan.”
“Hmm..mungkin karena kemarin nih,
Dek. Takutnya ada yang ngikutin kamu.” Sahut suster itu.
***