Sunday, 25 January 2015

Gabe

             



               Dalam gemetar, Gabe bersembunyi di bawah kolong meja. Meringkuk memeluk erat kedua lututnya di depan dada. Berusaha menahan napas sepelan mungkin. Bila perlu berhenti bernafas. Membayangkan pisau di tangan pria itu akan menggorok lehernya sebentar lagi.
             Ia melihat jasad seorang wanita terkapar di bawah kakinya. Diantara semak mawar. Dengan leher yang nyaris putus. Dan ia melihatnya, bersamaan dengan pria itu melihat dirinya. Seorang bocah lelaki dengan lollipop ditangan. Berdiri tak jauh dari tempat pria itu menggeram, bersiap menikam nyawa tak bersalah itu. Lalu dirinya.
               Gabe memandang dengan tatapan memohon. Berharap sesuatu datang menunda kematiannnya. Pria itu menghentikan langkahnya. Mendengus di bawah sinar lampu kekuningan yang meredup. Gabe menyambar tangan bocah lelaki itu secepat cahaya padam. Berlari memutar arah.
            Hampir menabrak pintu masuk ke sebuah ruangan, mereka menghentikan langkah. Gabe melihat sekitarnya, mencoba menyesuaikan pandangan dalam temaram. Tidak ada tanda-tanda pria itu mengejar mereka. Mungkin ia akan mucul secara tiba-tiba di depan wajahnya.
            “Di mana keluargamu?” Gabe bertanya dengan nafas tersengal. Tubuhnya terasa panas dan dingin disaat yang sama. Ia kembali menoleh ke belakang. Lalu kembali menatapnya.
           Bocah lelaki itu menunjuk ke arah tempat mereka berada sebelumnya. Gabe terdiam sejenak. Mencoba memahami.
            “Keluargamu berada di sekitar tempat tadi? Kalau begitu kita harus mencari jalan lain untuk kembali ke sana.”
             Gabe menarik dan menghembuskan nafas berulang-ulang. Metode penenang darurat jika sedang panik. Sebuah sentakan halus menarik tangannya.
            “Ada apa?” Gabe menoleh pada bocah lelaki itu
              Ia menggeleng sesaat, berbicara dengan suara pelan nyaris berbisik “Dia ayahku.”
            “Apa?!” Gabe memekik, lalu tersadar ia sedang berbicara dengan anak kecil. “Oh, maaf sayang. Apa kau juga melihat wanita itu?” Gabe bertanya dengan nada khawatir, cemas dengan apa yang telah disaksikan anak ini.
             “Ibu.”
             Gabe terkejut. Ia memeluk tubuh kecil anak itu, mengusap rambut pendeknya dengan lembut. “Siapa namamu?”
             “Edward.”
             “Aku Gabe. Aku akan menyelamatkanmu, Edward.”
             Mereka kembali berlari. Melewati lorong remang-remang dengan tergesa. Bunyi derap langkah yang bertubi-tubi menggema di belakang mereka. Gabe berteriak minta tolong. Pria itu akan mendengarnya.
         Kemana semua orang di apartemen ini? Seperti menghilang begitu saja terbawa angin. Mereka memasuki lorong lain. Jejeran bunga peony liar menggantung di langit-langit. Setiap kelopaknya mengejek Gabe.
             Seseorang muncul di balik sebuah pintu yang setengah terbuka di depannya. Wanita bertudung hitam berjalan kearah meraka. Gabe berteriak memanggilnya.
          “Hei! Nyonya! Tolong! Ada orang gila yang ingin membunuh kami di sana!” Gabe menunjuk lorong yang baru saja dilewatinya.
         Wanita itu hanya menunduk. Meneruskan langkahnya seolah Gabe dan bocah kecil itu tak pernah melintas di depannya. Mengabaikan setiap teriakan panik ketakutan Gabe.
        “Apa kau tuli? Jangan berjalan ke sana!” Gabe mulai mengamuk. Punggung wanita bertudung itu menghilang di ujung lorong. Edward menarik-narik tangan Gabe. Mengajaknya berlari ke tempat yang lebih aman.
           Belum tapak sepatunya meninggalkan lantai, suara langkah yang terseret menggema di tempat wanita bertudung itu menghilang. Semakin mendakati Gabe dan Edward. Cahaya remang berganti kegelapan.
           Suara langkah terseret itu lenyap. Bersamaan udara di sekitar mereka, tercium aroma gas bocor. Gabe terseret sesuatu.
        “Edward! Lari!” Gabe mencakar-cakar lantai. Berusaha meraih sesuatu untuk menghentikan tangan kasar yang menyeretnya. Lampu menyala redup. Samar-samar ia melihat Edward pergi dengan wajah ketakutan.
            Pria itu akan membakar tempat ini. Gabe harus melepaskan dirinya atau ia akan mati di tempat ini. Lalu melupakan janjinya untuk menyelamatkan Edward.
           “Aargh!” Gabe mengerang. Menendangkan kakinya dengan liar
            Pria itu terjatuh, lalu kembali berdiri secepat jatuhnya. Buru-buru Gabe berdiri menjauhinya. Mereka berhenti di tangga.
“Mau berlari lagi, Nona?”
Tangan kanannya merogoh pisau di balik jaket tebalnya. Gabe tersesak panik. Pria itu meraih tangan Gabe. Bersiap menghujamnya dengan beberapa tusukan. Mereka saling mendorong. Posisi Gabe yang lebih tinggi dari pria itu membuatnya lebih kuat dalam tekanan. Gabe berusaha memutar arah mata pisau kembali ke pria itu.
“Jangan halangi aku!” Pria itu berteriak kasar
Sayup-sayup, terdengar suara Edward yang ketakutan. Memanggil-manggil nama Gabe. Gadis itu mengerahkan seluruh tenaganya. Kekuatan yang entah dari mana asalnya, membatu Gabe menghujamkan mata pisau di dada pria itu. Darah memuncrat ke leher dan dagunya. Pria itu ambruk.
Gabe berusaha melepaskan genggaman pria itu dari tangannya. Ia memukul-mukul dengan kasar.
“Dia bukan anakku!” Ia terbatuk, memuntahkan darah segar dari mulutnya.
“Kau gila! Kau sudah membunuh istrimu dan sekarang kau akan membunuh anakmu! Dan juga aku! Lepaskan!” Gabe meronta.
“Dia yang membunuh istriku! Aku melihatnya sendiri!” ia kembali berteriak, menangis. Gabe terdiam. Pria ini sedang membual.
“Dia bukan lah seorang bocah kecil tak berdosa seperti yang kau lihat!” Pria itu mengerang kesakitan, genggaman tangannya melonggar. “Istriku baru mengetahui ia mengidap penyakit yang membuat tubuhnya berhenti berkembang secara fisik, ia pria dewasa, ia bukan manusia!”
Kali ini Gabe benar-benar terdiam. Berusaha tak memercayai apa yang dikatakan pria ini. Tidak mungkin.
“Kau harus lari, sebelum ia meledakan tem..”
Edward berdiri di atas tubuh pria itu. Menginjak pisau yang menancap di dadanya. Hingga melesak tembus ke balik punggungnya. Gabe tersentak ke belakang. Berusaha berlari meski terpeleset beberapa kali. Edward masih berdiri di belakangnya, di atas mayat pria itu.
Bukannya berlari ke luar gedung ini, Gabe masuk ke sebuah ruangan di ujung lorong terakhir. Ia mengunci pintu dengan asal. Berlari ke bawah meja, bersembunyi di sana dari Edward. Tapi ia ada di sana. Dengan darah  yang menetes di bibir penuhnya. Gabe akan mati, titik.
                                                                 ***
Sebuah ledakan warna membutakan mata Gabe. Kulitnya tidak terasa panas ataupun perih. Bahkan hangat pun tidak. Perlahan ia mengintip dari balik bulu matanya. Ia masih di bawah meja yang sama. Hanya saja Edward tak lagi di sana. Seluruh ruangan berubah putih bersih. Mungkin ia telah mati.
Seorang wanita berseragam serba putih membuka pintu. Kedua tangannya membawa sebuah nampan berisi segelas air putih, dan sebuah botol kecil dengan tulisan Zyprexa pada labelnya. Ia mengajak Gabe keluar dari tempat persembunyiannya yang aman. Saat Gabe melangkah, ia melihat ke pintu yang menganga lebar.
Edward sedang berdiri di sana. Menatapnya.
“Apa kau akan menyelamatkanku?”
                                                                 ***

           
           


Wednesday, 14 January 2015

#FFRabu - Lou

"Kau harus berhati-hati, sudah tujuh orang yang menghilang. Jangan jadikan dirimu yang kedelapan." Kata-kata pria misterius itu masih menancap dibenak Lou. Ia sedang berada di dalam lift seorang diri. Lalu terdengar suara seseorang tertawa di belakangnya. Jantungnya mengejut. Seluruh darahnya terasa berdesir.
               
"Kau tak bisa lari dariku." Suara dingin dan tinggi itu berbisik mengancam.
               
Bagaimana pria itu bisa di sini? Bersamanya? Ia tak berani bergerak.
             
"Jangan ganggu aku! Pergi!"

Pria itu tertawa. Tawa licik yang jahat. Tawa yang sama ketika ia menyusup ke ruang kerjanya.
             
"Sudah terlambat. Seseorang akan datang." Ia menyeringai.
       
Tepat di saat pintu lift terbuka, seorang wanita anggun menatap Lou, sedang berbicara pada bayangannya sendiri. Tersenyum.

Sunday, 11 January 2015

Remember you

                “Ada teori?” Jim bertanya padaku. Kepulan uap dingin terus berhembus dari mulutnya. Kami sedang berjalan di atas dermaga, menuju ke sebuah pesiar megah. Beberapa gadis dengan penutup telinga berbulu lembut berdiri di sekitar kapal. Cukup banyak orang yang berkeliaran di seluruh bagian kapal.
           Aku berusaha menyimak kata-kata Jim barusan, rasanya sukar untuk berkonsentrasi. “Tidak, aku menyerah.” Ucapku dengan tegas. Tiupan liar angin laut terasa meredam suara hingga aku harus sedikit berteriak pada Jim. Ia tersenyum, lalu menyelipkan kembali helaian rambutku  yang mencuat dari balik topi wol hitam yang hangat. Rasanya sedikit menyenangkan. Seperti aku pernah melewati saat seperti ini, ada hal yang akrab di balik senyumnya. Entah apa itu.
    Kami menaiki tangga menuju bagian geladak kapal yang sepi. Aku masih belum tahu tujuan kapal ini. Aku juga tak tahu apa tujuanku ke sini bersama orang yang beberapa waktu ini mengaku mengenalku sebagai temannya. Rasa ingin tahu terus menggelitikku.
             Langit kota Fort Bragg masih belum berubah. Mendung seperti semalam. Hanya saja, cahaya matahari yang berpendar di dalam awan kelabu membuatnya sedikit lebih cerah. Jim meninggalkanku sebentar untuk mengambil minuman. Sementara itu, udara asin lautan merasuki tubuhku dalam tiupan sejuk. Samar-samar aroma amis ikut terbawa di dalamnya. Sebuah sentakan halus menyadarkanku kapal ini baru saja berjalan meninggalkan dermaga. Aku melirik ke bawah permukaan air. Kira-kira sembilan meter dari tempatku berdiri. Aku menimbang-nimbang bagaimana rasanya jatuh dari ketinggian seperti ini.
                       “Pria yang duduk di bar itu parah!” Jim berseru setiba di sampingku. Ia mebawa dua gelas coke dan menyerahkan salah satunya untukku. Lihat siapa yang mau berbagi.
                     “Trims, Jim. Jadi, apa dia muntah?” aku menyesap minumanku. Tegukan pertama terasa menyengat ditenggorokan.
                     Jim melemparkan mimik ngeri, membuatnya tampak lucu. “Tidak, dia hanya menumpahkan minumannya sendiri lalu menyalahkanku yang berdiri di sebelahnya, sangat masuk akal.”
              “Terlalu pagi untuk mabuk,” ucapku, kami tertawa kecil. Seharusnya aku merasa canggung. Pergi ke tempat antah berantah bersama Jim. Tapi ia membuatku merasa nyaman. Seperti, kemana saja asal bersamamu! Kurasa aku mulai gila. 
             Seorang pria gemuk berjalan dengan gontai dari dalam bar. Tampangnya berantakan. Kupikir ia pria yang dimaksud Jim. Apa ia akan menghampiri kami untuk memarahi Jim? Semoga Tuhan menjauhkannya dari kami. Aku menoleh ke arah Jim, memberi isyarat padanya.
                    “Oh, kau benar Loren, itu prianya.”
Saat Jim menoleh, pria itu berbelok ke sisi lain kapal. Tidak terlalu jauh dari kami. Jari-jari raksasanya mencengkram pagar pembatas. Tubuh gemuknya tampak tak dapat menahan bobotnya yang kelebihan lemak untuk tetap berdiri. Oleng sesaat dan ia runtuh. Tersungkur jatuh ke lautan.
                       Bagaimana ini?! Pria itu tercebur dan hanya kami yang melihatnya. Seseorang harus menolongnya. Kulihat  Jim segera berlari ke tempat terakhir pria itu berdiri. Melepas sepatu dan bersiap meloncat. 
                 “Jim!”
                “Aku harus melakukannya atau ia akan tenggelam, Loren!” 
Detik berikutnya ia telah meluncur bagai rudal yang membelah air di bawah sana. Tidak. Jim tak bisa menyelamatkan pria itu sendiri.
          “Tolong! Seseorang tenggelam! Tolong!” aku berteriak sekuat tenaga seperti orang sinting. Orang-orang mulai berlarian ke arahku. Seorang petugas kapal yang pertama tiba melemparkan sebuah ban penyelamat berukuran kecil.
                          “Apa kau gila? Ban itu bahkan tak mampu menahan tubuh gemuk pria itu! Temanku juga ada di bawah sana!” 
Petugas itu malah berlari sambil mengucapkan sesuatu yang tak dapat kudengar. Oh, mungkin ia tak bisa berenang, hebat sekali! Dan orang-orang yang berkerumun di sepanjang pagar pembatas hanya bisa melihat ke bawah sana dengan ngeri. Mereka cuma sampah di saat seperti ini.
                        Di mana Jim? Kenapa ia tak muncul-muncul juga ke permukaan? Aku tidak bisa menunggu. Aku harus meloncat saat ini juga. Persetan dengan sepatu dan celana jeans. Tanpa aba-aba, aku merasakan tubuh ini melayang, jatuh ke dalam air dengan cepat. Menunggu sampai tubuhku berhenti meluncur. Aku bisa mendengar suara orang-orang itu berteriak panik di atas sana.
                         Angin yang tadi terasa nikmat, sekarang menusuk-nusuk kulitku dengan tajam saat aku kembali ke permukaan. Aku masih bisa mengabaikannya, tapi ketika berenang adalah sesuatu yang sulit, di  situ lah kau harus panik. Bagus. Kakiku kram karena air yang membeku ini.
                    “Bertahanlah Nona! Kami akan menurunkan sekoci!” teriak suara seorang pria. Tenang saja, aku masih bisa mengambang.
               “Jim!” yang ada dipikiranku hanya pria itu. Tiga meter di belakangku, ia muncul di balik tubuh pria gemuk yang pingsan itu. Ia nyaris tenggelam. Tubuhku melemah, sesuatu menyerang kepalaku. Saat tegukan pertama air laut menyatu bersama lidahku. Aku tahu siapa Jim.
                                    ***
      Loren mengalami geger otak karena kecelakaan itu. Ia tak dapat mengingat apa pun. Siapa pun. Berkat terapi, sudah beberapa waktu ini ia mengalami kemajuan. Tidak semuanya. Ingatan itu datang seperti saat kau merasakan dejavu. Tapi ia masih belum mengingat siapa aku. Cincin tunangan kami masih melingkar di jari manisnya. Ia hanya mengira itu perhiasan biasa. Aku tidak ingin ia terlalu banyak berpikir. Tahu itu hanya membuatnya sakit.
  Hari ini, aku ingin mengajaknya ke tempat saat pertama kali kami bertemu. Berharap ia bisa mengingatnya. Tapi, pria tua gemuk bagai babi ternak yang akan dihidangkan di malam natal ini menunda rencanaku. Tidak hanya menunda, ia berhasil membuat Loren terjun bebas dari atas sana. Terhalang oleh tubuh pria tua ini, aku melihatnya tergagap di atas air. Separuh tenggelam. Tuhan pasti sedang menyiksaku, jika saja sekoci penyelamat tidak datang dengan cepat.
                      "Loren! Jangan lepaskan tanganmu dari ban itu!" ia tak menjawab, sekedar mengangguk pun tidak. Ya Tuhan, jangan ambil dia dariku saat ini. Sekoci sialan itu masih dua meter dariku. Dan seorang pria melompat untuk mengambil alih tubuh berat pria itu. 
                      Saat aku melihat ke arah Loren, ia tenggelam. "Loren!" Aku dipaksa merasakan ketakutan itu sekali lagi. Melawan arus, aku berenang secepat mungkin. Dengan satu tarikan nafas, mencoba mencapai kepalanya, lalu pipinya, leher..dan bahunya.
                 Ia terbatuk saat menghirup udara di atas permukaan. 
                        "Jimmy! Jimmy!" Loren memelukku erat. Bibirnya bergetar kedinginan. "Aku mengingatmu! Kapal ini, cincin ini juga!"
                      Kini aku percaya adanya mukjizat Tuhan. Bahkan kata-kata indah pun tak dapat melukiskan apa yang aku rasakan bersamanya saat ini. Berpelukan di antara ban penyelamat, di atas permukaan air yang terasa hangat.
                                       ***

Sunday, 16 November 2014

Bukan Mimpi

RS, Cahaya.
Rabu, 13 April 2011

03.50 PM

               Itu dia. Sederet bangunan putih dan beberapa pohon beringin tampak di depan sana. Aku memacu kedua kaki lebih cepat, secepat peluru nyasar jika bisa. Cuaca cerah hari ini berhasil membuat kepalaku terasa berdenyut. Aku berusaha mengabaikannya ketika melewati pohon beringin pertama, tampak begitu rindang. Bayangan teduh di bawahnya menggodaku untuk bersantai sejenak. Tapi tidak, sekarang giliranku untuk menjaga ibu.
                Aku menghela napas kecil ketika mengingat kondisi ibu yang baru saja selesai menjalani operasi pengangkatan tumor di sekitar rahimnya kemarin. Lalu, bayangan adik ibuku-yang telah menanti kedatanganku selama satu jam lebih di sana-melintas. Buru-buru aku berlari kecil di jalan yang sepi ini. Tentu saja, ini jalan belakang rumah sakit. Akan lebih cepat bagiku untuk sampai jika melewati jalan ini.
                Masih berjarak 14 meter dari pintu masuk, tiba-tiba saja turun gerimis. Tepat di saat kakiku berhenti di pohon beringin kedua. Hujan panas, batinku berbisik. Langkahku berhenti, mungkin tidak akan lama. Aku teringat ucapan seseorang, di saat hujan seperti ini akan banyak makhluk halus yang berkeliaran. Sialan.
                Aku mengurungkan niat untuk berteduh lebih lama lagi. Setelah memandangi seluruh bagian pohon rindang itu, aku berlari menuju gerbang. Tepat di saat hujannya mulai lebat.
                Kamar kelas 3 ini sangat bersih. Beruntung bagiku karena hanya ibu yang menempati kamar ini. Setidaknya aku bisa berleluasa di ranjang sebelah. Dengan selembar kertas A4, aku mulai membuat sketsa di atasnya. Berusaha membunuh kejenuhanku di tempat yang dipenuhi aroma obat dimana-mana.

                                                                              ***
                11.45 PM

               Sayup-sayup terdengar suara orang memanggil. Aku membuka mata, terkejut menyadari aku telah tertidur di kursi. Ibu sedang tersenyum menatapku. Rona pucat di wajahnya sudah sedikit memudar. Lalu ia terbatuk disertai ringisan kecil. Aku panik.
                “Kalau batuk jahitannya pasti sakit.” Bisiknya pelan.
                “Mama yang kuat, ya? Harus bisa tahan,” Aku berusaha menyemangati ibu, meskipun aku sangat tak tega melihatnya. Seandainya rasa sakit itu bisa dibagi, aku rela.
                Ibu kembali tertidur. Aku berencana untuk membeli beberapa makanan di cafetaria di ujung bangunan ini. Begitu melihat tumpukan roti, susu, minuman isotonik serta buah-buahan di atas meja kecil di sebelahku, rencana itu terurungkan.
                Saat menikmati makanan yang sebenarnya bukan untukku, aku mendengar suara gaduh melintas di lorong depan. Mungkin pasien yang di bawa ke UGD. Perasaan tak enak menyerbuku dengan bayangan aneh. Bagaimanapun, tidur di sini sama saja tidur bersama orang mati meski tak seruang. Aku menggeleng kecil, mencoba mengusir spekulasi tentang rumah sakit ini yang bisa membangkitkan bulu roma. Juga mengusir seekor nyamuk yang  terbang melintas di dekat telingaku bagai mobil F1.

***
01.25 AM

               Suara rintihan menyadarkanku dari tidur dengan posisi menyakitkan. Dengan malas aku menegakkan tubuh. Merenggangkan kedua tangan dan melemaskannya. Lebih baik jika aku pindah ke atas ranjang sebelah. Saat memutar tubuh itu lah, aku melihatnya.
                Tirai putih gading yang di tutup rapat di sekeliling ranjang sebelah ibuku. Wow. Sepertinya aku tertidur layaknya orang tewas. Bahkan ada pasien yang masuk pun aku tak menyadarinya. Samar-samar tercium aroma amis. Bukan amis seperti ikan, tapi darah. Kukira bau darah hanya seperti campuran antara karat dan garam. Uhg, aku tak tahan.
                Penasaran aku mencoba melirik ke balik tirai itu. Hening. Di sisi lain ranjang terlihat bagian yang tak tertutupi. Dengan langkah pelan hampir menjinjit aku mendekatinya. Tampak seorang ibu yang memeluk seorang bayi. Aku heran bayi itu hanya terdiam, tak bergerak. Mungkin sedang tertidur. Rambut sang ibu sangat berantakan, terikat asal begitu saja. Yang lebih mengagetkanku, seluruh bagian paha hingga ujung kakinya berlumur darah. Membasahi permukaan ranjang di sekitarnya dengan noda merah tua kecokelatan.
                Aku meringis dengan mimik ngeri bercampur iba. Wanita itu bergerak memunggungiku. Sepertinya ia menyadari kehadiranku yang mengintipnya diam-diam. Dengan perasaan tak nyaman aku kembali ke sisi ranjang ibuku. Memindahkan kursi ke sebelah kirinya. Lalu menutup rapat tirai di sekelilingku. Dengan sedikit gemetar, aku mengeluarkan earphone dari ransel, memasangnya dengan cepat dan menyetel lagu Ignorence milik Paramore dengan volume tinggi. Sampai aku tertidur lagi.

***
05.37 AM

                Kali ini, sebuah tepukan dan guncangan kecil di punggung yang membangunkanku. Pandanganku masih kabur ketika melihat sosok putih dan hitam yang berdiri di sekitarku. Aku menggucek pelan, ternyata suster dan kakak.
“Kenapa kamu tutup tirainya? Tumben gak tiduran di ranjang,” tanya kakak, tangannya sibuk mengupas kulit jeruk. Aku teringat wanita kemarin, mungkin aku bisa mengobrol dengannya sekarang, sekaligus meminta maaf karena telah mengintipnya diam-diam.
Aku melirik ke arah ranjang sebelah. Hampir saja aku terkena serangan jantung saat melihat ranjang yang putih bersih dengan tirai yang tersingkap.
“Suster, semalam ada pasien yang masuk ke kamar ini, ya? Sekarang dia ada di  mana?” tanyaku penasaran. Suster itu merengut.
“Gak ada pasien yang masuk kok, dek. Kenapa?” ungkapnya dengan melempar balik pertanyaannya kepadaku.
Hei! Apa ini? Aku yakin 100% wanita dengan bayi dan darah itu ada di situ. “Emm..Enggak ada apa-apa,sih. Pengen tahu aja,” jawabku berbohong. Tidak mungkin aku bermimpi. Semuanya sangat nyata.
“Dek, itu leher sama tangan kamu kenapa?” tanya kakak, ada nada khawatir tersirat di dalamnya. Aku menoleh, mendapati bentol-bentol dengan bentuk dan ukuran yang  tak wajar menghiasi tubuhku. Terasa sangat gatal dan panas ketika aku menyadarinya. Aku berseru panik.
“Kamu gak ada salah makan kan?” tanyanya lagi, aku menggeleng. Aku tak punya alergi pada apa pun kecuali debu dan asap.
“Apa semalam kamu mandi di sini? Mungkin airnya yang buat alergi.”
Aku terhenyak beberapa saat untuk berpikir. “Kemarin, pas hujan panas aku sempat berteduh di bawah pohon beringin di belakang, Kak. Habis itu, aku lupa bersihin badan.”

“Hmm..mungkin karena kemarin nih, Dek. Takutnya ada yang ngikutin kamu.” Sahut suster itu.
                                                                   ***

Monday, 10 November 2014

Trully, Madly, Deeply Hate You

Rangga

Mungkin aku hanya seorang pengecut yang bersembunyi di balik bayang semu. Mencoba meraihmu dalam kegelapan itu. Lalu menyesalinya karena hanya terjadi dalam khayalku.
Aku ingin tahu arti dari senyum itu. Sesuatu yang asing menarik perhatianku di sana. Menggodaku untuk menyentuhnya.
Hati ini mulai berlari setiap melihatmu. Dan bayangmu selalu terbawa disetiap tarikan napasku. Membuatku merasa tak ada kehidupan lain setelahnya. Tanpa pernah kamu tahu.
Aku berusaha mencari kalimat itu disetiap bait kata yang tertutur. Tapi tak pernah menemukannya. Membuatku merasa kita tidak dipertemukan untuk menyatu. Bayangmu perlahan memudar. Segalanya terasa buram hingga garis tepi jiwaku. 
Dimana pun kamu berada, mungkin suatu hari nanti. Sekalipun Tuhan tak mengijinkanku.

                 ***

Tujuh tahun kemudian

Rangga memutar lagu itu untuk kesekian kalinya. Life after you milik Daughtry. Lagu itu selalu membawa sebuah kenangan khusus baginya. Begitu indah hingga terlalu menyakitkan untuk dikenang.
Ia tahu gadis itu akan datang ke pantai ini setiap ulang tahunnya. Melepas semua bebannya pada lautan bersamanya. Tapi tidak lagi, semenjak kejadian itu yang bagi Rangga tak pernah adil baginya.
"Aku tahu siapa kamu sebenarnya," ucapnya saat itu dengan datar, terkesan dingin. Sedangkan angin pantai begitu cerah. Rangga hanya terdiam
"Semuanya cukup sampai di sini, kamu gak perlu nemuin aku lagi." Sambungnya pelan, berusaha menahan air matanya.
"Maksud kamu? Aku gak ngerti, apa yang kamu bahas?" tanya Rangga dengan bingung bercampur takut.
"Aku udah tahu semuanya, Ga. Kamu gak baik buat aku." Cinta berkata lebih kasar. Seolah ia lupa siapa makhluk yang sekarang berdiri di hadapannya. Baru saja Rangga membuka mulut, dengan cepat ia memotongnya.
"Kak Eno udah kasih tahu semuanya ke aku kalau kamu.." Cinta terdiam, tak berani melanjutkan kata-katanya.
"Aku apa?! Kamu percaya gitu aja dengan ucapan cowok brengsek itu?!" Teriak Rangga dengan frustasi. Ia membuang muka ke pasir yang terasa kasar digenggamannya.
"Yang aku tahu, aku bukan satu-satunya pacar kamu." Katanya dengan sedikit terbata. Cinta berlalu begitu saja. Tanpa pernah menolehnya lagi.
Rangga menghela napas. Menggelengkan kepalanya dengan keras, berharap kenangan itu bisa rontok dari ingatannya. Ia begitu kecewa, semudah itu Cinta percaya dengan ucapan orang lain tentangnya. Yang kebenarannya tak pernah dibuktikan. Hanya karena beberapa alasan, ia memutuskan segalanya.
Ia kembali menatap gadis itu di ujung sana. Sedang tertawa dengan es krim yang meleleh di tangannya. Rangga menahan nalurinya untuk tidak berlari menghampiri gadis itu. Disusul seorang pria dengan rambut sebahu, berusaha memeluk Cinta dari belakang lalu menangkap tangan lainnya yang bebas. Sesuatu menusuk hatinya, Rangga tak bisa mengalihkan perhatiannya.
Pria itu berbisik padanya lalu berlari meninggalkan Cinta seorang diri. Ia sudah tak tahan, ini saatnya. Rangga berlari cepat ke arah gadis itu.
"Cinta!" Teriaknya dengan senyum kecil. Gadis itu menatapnya terkejut. Senyumnya lenyap seketika.
"Boleh bicara sebentar?" Rangga memohon dengan sedih, dengan sepelan mungkin mencoba menyentuh tangan halus Cinta. Gadis itu membiarkan Rangga membawanya di balik sebuah batu besar di sisi lain pantai. Tempat favorit mereka dulu.
"Aku gak bisa, Ga." Ucapnya pelan, bahkan sebelum Rangga bertanya. Ia tak berani menatap matanya.
"Cuma sekali ini, dulu kamu pernah janji sama aku, kamu masih ingat, kan?" pinta Rangga, berharap Cinta bisa mengingat perkataannya dulu. Saat mereka berjanji dengan matahari terbenam. Cinta menggelengkan kepalanya.
"Kenapa? Apa kamu udah gak kenal aku lagi?" tanya Rangga dengan suara bergetar, tenggorokannya terasa tercekat.
"Bunda!" teriak seorang gadis kecil dengan rambut yang berkibar di terpa angin pantai. Gadis kecil itu memeluk Cinta dengan erat.
"Bunda sama siapa? Om ini teman Bunda?" tanyanya polos. Ia menatap Rangga dengan malu. Cinta berbisik kecil ke telinga gadis itu, entah apa yang di ucapkannya hingga gadis itu meloncat kesenangan, berlari kembali ke pondok mereka.
Rangga terdiam. Perlahan kakinya melangkah mundur menjauhi Cinta. Kedua matanya terasa panas, ia tak bisa tersenyum lagi. Bayangan Cinta mulai memudar, menghilang diantara bebatuan.

                 ***

Cinta

Aku masih menantimu di dalam keheningan. Berharap dapat mengenggam waktu agar bisa bersamamu meski hanya untuk semalam. Menghabiskan hidup berdua untuk tertawa. Sayang, itu hanya terjadi dalam khayalku.
Aku masih mengingat saat itu. Ketika aku melihatmu untuk pertama kalinya, tersenyum. Tapi bukan untukku. Cukup melihatmu beberapa saat saja bisa membuatku bahagia. Aneh. Tapi itu yang aku rasakan, aku ingin kamu tahu itu.
Bagaimana aku tahu kemana aku akan pergi? Sedangkan bayangmu tak ingin enyah dari pikiranku. Mengesalkan. Seolah ada api yang menyala, terlalu besar hingga membakarku. Memaksaku untuk menjauh. Terlalu jauh hingga terasa menyesakkan hatiku. Segalanya terasa menyakitkan ketika kenyataan itu menyadarkanku, atau menipuku. Segalanya telah terlambat sekarang.
Kamu dan aku. Benar atau salah. Tak seorang pun diantara kita bisa melewatinya. Mungkin kita memang di takdirkan untuk bertemu, tapi tidak untuk bersama.
Tanpamu, Tuhan pun tahu jika aku merasakannya. Sekalipun waktu akhirnya menemukanku. 

***

Sunday, 26 October 2014

A Princess of Neal

"Briana! Berhenti!" Teriak seorang gadis berkulit hitam. Briana terus berlari hingga ia menemukan portal ketiga di balik semak. "Jangan! Jangan masuk ke sana!" Teriaknya histeris. Terlambat, Briana telah menghilang dengan satu langkah melewati gerbang platinum itu. Gadis itu hanya memeluk udara hampa, sedetik saat Briana menghilang. "Sir, ia pergi lagi." Bisiknya sambil memencet sebuah tombol kecil di belakang telinga kanannya.
            ***
Briana terjatuh di atas rerumputan kasar yang lembab. Tak jauh dari sebuah sungai kecil yang dipenuhi bebatuan merah. Ia berdiri dengan sedikit tertatih, menatap sekelilingnya dengan siaga. Mungkin saja ada prajurit lain yang menyusulnya ke sini, berusaha membawanya kembali ke kota Neal. Tidak, para prajurit itu tak akan bisa menghentikannya. Ia telah bertekad untuk menemukan permata itu di sana, ia tak ingin kembali dengan sia-sia.
Sebuah monitor kecil—dengan model jam tangan—terbuka dipergelangan tangan kirinya. Sesosok pria tampan muncul di dalamnya. "Di mana aku sekarang? Apa aku telah sampai di portal ketiga?" Tanya Briana pada pria yang mencoba mengamati lingkungan hijau di sekelilingnya. Semua tanaman di sana besar-besar. Seolah Briana menyusut menjadi liliput. "Kurasa, ya. Alam disekitarmu mirip dengan keadaan bumi ratusan juta tahun lalu." Pria itu mengusap-usap dagunya yang mulus. "Jadi, bagaimana dengan makhluk itu? Binatang yang kau ceritakan padaku? Apa mereka di sini" Briana berkata dengan suara sedikit bergetar. Meskipun ia berani, tapi ada secercah perasaan was-was dibenaknya. "Kau membawa kapsul kecil itu? Aku menyimpan sebuah senjata untuk melindungimu di dalamnya." Ucapnya datar. Briana mengangguk kecil, merasa kesal dengan nada bicaranya yang selalu formal. "Makhluk sejenis Kaiju itu hanya beraktivitas di malam hari. Kau masih punya beberapa jam lagi untuk mencapai puncak gunung di belakang bukit itu." Tambahnya lagi. Briana menoleh ke arah bukit kecil di belakangnya. Gunung itu sangat tinggi, mustahil ia akan sampai di sana dalam waktu cepat. Meskipun data tentang tiga portal kuno yang ia dapat dari Joan—cowok tampan yang aneh—itu diyakininya telah valid, sedikit sirna ketika ia menatap hamparan gunung hijau itu. Ada yang aneh di sana. Seperti...sesuatu telah menanti kedatangannya. Setidaknya itu yang ia rasakan saat ini. "Jauhi hutan dan gua, intinya kau harus berada di tempat yang lapang." Saran Joan dengan cepat. "Ku harap senjata ini berfungsi." Ucapnya pelan, menutup layar monitor dengan lambat.

           ***
"Kenapa kalian begitu ceroboh?!" Seru komandan Voltair. Ia memarahi orang-orang yang telah bertugas mengejar Briana. Semuanya menunduk. Komandan Voltair membalikkan badannya, menghadap dinding kaca di seberangnya. Kerutan-kerutan di wajahnya terbentuk jelas jika ia marah. Kepalan tangannya juga semakin kuat. Tak ada objek untuk melampiaskan kekesalannya saat ini.
"Joan! Apa kau telah menemukan lokasi dimana Briana sekarang?" Tanya komandan Voltair, menghampiri anak buahnya yang menatapnya lurus ke depan.
"Sudah, Sir. Ia telah sampai di portal ketiga." Ucapnya datar. Mata birunya tak menatap komandan Voltair.
"Bagus. Sekarang kalian bersiap untuk melintasi portal yang telah dilewati Briana tadi." Perintah komandan Voltair dengan nada tegas. Tak terbantah.
"Tidak, Sir." Sahut Joan dengan nada datar lagi.
"Apa kau ingin membantah perintahku?" Tanyanya dengan suara meninggi. Jelas komandan Voltair merasa tersinggung jika ia dibantah. Ia terlalu keras kepala.
"Tidak, aku tak bermaksud begitu, Sir. Bagaimana pun, portal itu hanya bisa dilewati sekali. Jika ada orang yang melintasi portal itu setelahnya, sudah dipastikan bahwa ia akan menghilang entah ke mana. Mungkin saja orang itu bisa menghilang melampaui cosmic horizon. Kita tak akan pernah bisa menemukannya." Jawab Joan dengan serius, mereka semua yang memperhatikan berubah gusar. Jelas mereka sangat ragu untuk melewati portal yang baru saja dilalui Briana beberapa saat lalu. Komandan Voltair juga gelisah. Pikirannya sedang buntu.
"Kita tak bisa membiarkannya bermalam di sana. Terlalu berbahaya." Sanggah komandan Voltair, mencoba mendapat dukungan dari prajuritnya.
"Aku akan mencari jalan lain. Mungkin aku bisa menyadap beberapa satelit di luar sana. Ingat, di tubuh Briana ada chip pelacak." Joan berkata dengan cepat. Komandan Voltair mengangguk sekali, mempersilahkan Joan untuk meninggalkan ruang kacanya.
              ***
Sekarang memang masih siang. Tapi ia bisa melihat beberapa planet hampa di ujung sana, bersama asteroid di sekelilingnya. Ia telah melintasi beberapa galaksi melalui dua portal kuno yang tersebar di beberapa planet yang baru saja ia kunjungi. Sekarang Briana telah sampai di portal ketiga, yang terakhir menurut Joan. Ia menembus semak-semak lebat dengan pedang yang dialiri listrik berdaya tinggi. Kulitmu akan hangus jika tersentuh dengan ujungnya. Ia berjalan sangat cepat, hampir berlari. Berusaha mencapai tebing di ujung sana. Briana tahu ada sesuatu yang mengamatinya di balik bayang-bayang pepohonan. Sesuatu yang besar dan bengis.
Briana sampai di ujung tebing. Aneh, ia tak merasakan lapar atau haus di dari tadi. Apa mungkin ini efek dari melintasi portal-portal tadi? Briana kembali melihat sekitarnya. Ia memanjat perlahan, hingga sampai di puncak bukit yang dekat dengan tujuannya. Tak ada pepohonan dari bukit hingga ke gunung itu. Briana merasa sedikit lega, ia yakin makhluk sejenis Kaiju itu tak akan mendekatinya. Monitor kecil di pergelangannya kembali terbuka. Joan. Ia tampil dengan wajah panik.
"Sekarang apa lagi? Apa ada masalah dengan tempat lapang?" Tanya Briana sarkatis.
"Ini demi keselamatanmu, Briana." Sahut Joan lembut.
"Komandan Voltair telah tahu keberadaanmu, ia akan mengirim beberapa prajurit ke sana. Hati-hati." Ucap Joan, "Ingat, kau harus mendapatkan batu permata itu sebelum mereka. Kau dalam bahaya." Sambungnya lagi. Briana hanya terdiam. Ia memang berada dalam bahaya sejak melangkah ke portal pertama. Itu tak mengagetkannya. Joan mematikan sambungan mereka.
               ***
Entah ini dinamakan malam atau apa di planet ini. Yang jelas, semuanya sangat gelap. Briana memilih menghentikan langkahnya di sini, ia tak yakin apa yang akan di temuinya di depan sana. Tapi ada satu yang menarik perhatiannya di sini. Begitu banyak kilatan cahaya.
Ada sebuah suara gaduh di bawah sana, di dalam lebatnya hutan. Mungkin beberapa kaiju sedang bergulat di sana. Lalu, sebuah hembusan angin yang kuat menerpanya. Ia terpelanting ke belakang dengan kaget. Briana merasakan nyeri hebat di kepalanya. Samar-samar, ia melihat sesuatu yang tingginya kira-kira empat meter mendekatinya. Kulit makhluk itu bercahaya. Sangat indah. Briana melupakan ketakutannya atas merasa terancam. Ia sungguh terpesona dengan makhluk itu.
Ia bangkit perlahan. Menatap makhluk yang berdiri tepat di depannya. Makhluk itu mengulurkan tangannya perlahan, entah itu pantas disebut tangan atau tidak tapi tampak seperti itulah bagian tubuhnya itu. Briana mundur selangkah, mungkin makhluk itu ingin melukainya batinnya berbisik. Ternyata dugaannya salah, makhluk itu tak menyerangnya. Ia menempalkan sesuatu yang tampak seperti tangan itu ke kening Briana. Lalu, beribu gambar tersingkap di otaknya, di dalam pikirannya.
Briana terkesiap. Ia tahu semuanya sekarang. Makhluk ini, makhluk sejenis Kaiju yang ditemuinya ini bukan pemangsa. Joan salah. Baru saja makhluk ini mentransferkan sebuah pengetahuan baginya. Mereka memiliki kemampuan seperti telekinesis. Mereka juga bisa mengetahui masa lalu Briana dengan menyentuhnya. Mereka tahu kalau Briana seorang putri. "Aku mencari sesuatu, permata biru." Ucap Briana melalui pikirannya. Lalu gambar itu terlintas, permata biru yang indah. Berada di puncak gunung. "Apa kau bisa mengantarkanku berjalan ke sana?" Tanyanya lagi. Makhluk itu menolak. Briana memejamkan matanya, menghembuskan napas hangatnya perlahan, kecewa. Lalu, betapa kagetnya ia sekarang. Bagaimana caranya ia bisa sampai ke puncak gunung secepat itu? Ia berdiri diantara bebatuan merah bercahaya. Tapi ia tak bisa menemukan permata biru itu. Sejauh ia memandang, hanya ada bebatuan merah. Makhluk itu masih di sampingnya. "Di mana permata biru itu?" Tanya Briana kebingungan. Tangan makhluk itu menyentuhnya lagi. Briana terjatuh karena langkah mundur tiba-tibanya. Joan salah lagi. Permata biru itu tak pernah ada.
Awalnya permata biru itu hanya sebuah mitos bagi mereka yang menginginkan kekuatan luar biasa. Melampaui semua kekuatan di jagat ini. Tapi makhluk itu telah memusnahkan permata biru itu di dalam diri mereka kerena banyak makhluk lain yang ingin mendapatkannya dengan mengganggu mereka. Akhirnya, zat yang terkandung di dalam permata biru itu merubah sel-sel dan sistem jaringan tubuh mereka. Dan benar, permata biru memiliki kekuatan.
Ia bingung mengapa Joan bisa sekeliru ini. Meskipun Joan telah mengalami pembekuan Cyrogenic selama beberapa dekade, ia yakin bahwa kecerdasan Joan adalah kunci utamanya berada di sini. Di Alaestar.
"Apa Joan ingin menipuku?" Ucap Briana mengeluarkan senjatanya.

Monday, 20 October 2014

Hujan


Satu persatu orang-orang datang berlarian ke arahnya. Melindungi diri mereka dari hujan dengan berbagai benda. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah seorang pria yang baru saja turun dari sepeda motor tak jauh dari tempat ia berdiri. Pria itu mengenakan sepatu reebok pump warna putih. Seluruh pakaiannya basah kuyup, kecuali sebuah benda yang dilindunginya dibalik jaket parasut biru terang. Wanita muda itu masih memperhatikan gerak-gerik pria itu. Ia sedikit terpesona ketika pria itu menyisir rambut sebahunya dengan semua jarinya ke belakang. Lalu, ada perasaan tak asing mendekatinya. Tanpa sadar, ia berjalan mendekati pria itu. Semakin ia mendekat, perasaan tak asing itu semakin kuat. Ia mengenali pria itu. 
"Mira?" Ucap pria itu dengan ragu ketika mata mereka bertemu pandang.
"Kamu Mira, kan?" Tanyanya sekali lagi, Mira sedikit terkejut ketika pria itu menyebut namanya. Ya, ia tidak salah. Mereka memang pernah saling mengenal.
"Ini aku, Andre. Kamu gak ingat?" Tanyanya sekali lagi. Mira masih terdiam. Memorinya sedang berputar dengan cepat. Mencari kenangannya bersama Andre. Ingatannya berhenti di sebuah tempat kecil yang tersembunyi dari siapa pun. Bahkan dari dirinya sendiri.
Tiga belas tahun yang lalu, saat mereka masih berstatus murid sekolah dasar. Andre adalah objek tempat ia melampiaskan k ekesalannya. Tapi Andre tak pernah marah atau membalasnya. Ia justru merasa senang, ketika murid perempuan lainnya memuja ketampanannya, Mira justru melakukan sebaliknya.
"Aku heran, kamu gak pernah marah kalau aku jahatin kamu, kenapa?" Tanya Mira saat mereka berjalan kaki sepulang sekolah.
"Aku juga gak tahu, Mir. Tapi, kata mama aku, kalau ada orang lagi marah-marah, kita harus tenang."
Mira hanya mengangguk tak mengerti.
Sekarang ia mengingatnya. Ia tetap tampan seperti ingatannya dulu. Lalu timbul perasaan hangat di benaknya. Ia berlari kecil memeluk Andre. Pria itu sedikit kaget karena Mira memeluknya di depan semua orang. "Apa kabar? Udah berapa lama ya kita gak ketemu?" Tanya Andre disela senyumnya "Belasan tahun mungkin. Udah lama banget, aku jadi kangen masa kecil dulu." Ucap Mira terkekeh "Sekarang kamu feminim ya? Gak se-tomboi dulu," Ledeknya, matanya menatap wajah Mira dengan teliti. "Kamu udah berubah sekarang," Sambungnya. Mira merasa sedikit malu dengan kelakuannya terhadap Andre waktu kecil. "Yah, mau gimana lagi? Waktu terus berjalan, kan? Ngomong-ngomong, kamu juga berubah, Dre." Mira menatap wajah Andre yang masih basah oleh hujan. Ia teringat dengan tisu di dalam tas tangannya. Tanpa berkata, ia mengelap wajah Andre dengan tersenyum. "Kamu, nungguin siapa di sini?" Tanya Andre ketika Mira menyerahkan tisunya. Mira terdiam sejenak, "Calon tunangan aku," Raut wajahnya berubah muram. "Kenapa kamu jadi sedih, gitu?" Andre merasakan sesuatu yang menjanggal hatinya, sesuatu yang sudah terlalu lama ia pendam hingga terlupakan, kembali menyeruak dibenaknya. "Aku dijodohin, aku gak suka sama dia." Wajah Andre berubah gusar. Baru saja ia bertemu dengan wanita yang telah lama hanya menjadi bayangan baginya. Sekarang ia harus melepaskannya lagi. "Kamu gak bisa nolak?" Usul Andre, meskipun ia tahu itu tak mungkin. "Aku udah nolak dari awal, Dre. Kalau aja rencana aku bisa dijalankan, mungkin orang tua aku gak akan ngejodohin aku dengan dia lagi." "Rencana?" Perasaan bingung dan penasaran bergulat di depan matanya. Apa ia bisa membantu Mira? "Aku harus punya calon suami sendiri. Saat itu, mereka gak akan berani jodohin aku lagi, Dre. Kata mereka, aku terlalu lama sendiri, terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan sampai-sampai lupa dengan kewajiban menjadi istri." Mira tersenyum miris. Seandainya Andre tahu apa yang ia rasa, mungkin ia tak perlu mengalami ini semua. Suara klakson dari sebuah mobil kijang kehijauan terdengar dibunyikan berkali-kali. Mira memberi isyarat pada Andre bahwa jemputannya telah datang. Andre melihatnya berlalu dengan perasaan bergetar. Ia tak bisa melepaskannya lagi. Ia harus melakukannya. Seandainya ia tahu apa yang dipikirkan Mira, mungkin ia tak perlu bersusah hati saat ini. Mira melepaskan jasnya sebagai pelindungnya dari tetesan hujan deras. Ia masih mengingat kata-kata Andre barusan. "Rencana kamu, akan kita wujudkan nanti."