Sunday 25 January 2015

Gabe

             



               Dalam gemetar, Gabe bersembunyi di bawah kolong meja. Meringkuk memeluk erat kedua lututnya di depan dada. Berusaha menahan napas sepelan mungkin. Bila perlu berhenti bernafas. Membayangkan pisau di tangan pria itu akan menggorok lehernya sebentar lagi.
             Ia melihat jasad seorang wanita terkapar di bawah kakinya. Diantara semak mawar. Dengan leher yang nyaris putus. Dan ia melihatnya, bersamaan dengan pria itu melihat dirinya. Seorang bocah lelaki dengan lollipop ditangan. Berdiri tak jauh dari tempat pria itu menggeram, bersiap menikam nyawa tak bersalah itu. Lalu dirinya.
               Gabe memandang dengan tatapan memohon. Berharap sesuatu datang menunda kematiannnya. Pria itu menghentikan langkahnya. Mendengus di bawah sinar lampu kekuningan yang meredup. Gabe menyambar tangan bocah lelaki itu secepat cahaya padam. Berlari memutar arah.
            Hampir menabrak pintu masuk ke sebuah ruangan, mereka menghentikan langkah. Gabe melihat sekitarnya, mencoba menyesuaikan pandangan dalam temaram. Tidak ada tanda-tanda pria itu mengejar mereka. Mungkin ia akan mucul secara tiba-tiba di depan wajahnya.
            “Di mana keluargamu?” Gabe bertanya dengan nafas tersengal. Tubuhnya terasa panas dan dingin disaat yang sama. Ia kembali menoleh ke belakang. Lalu kembali menatapnya.
           Bocah lelaki itu menunjuk ke arah tempat mereka berada sebelumnya. Gabe terdiam sejenak. Mencoba memahami.
            “Keluargamu berada di sekitar tempat tadi? Kalau begitu kita harus mencari jalan lain untuk kembali ke sana.”
             Gabe menarik dan menghembuskan nafas berulang-ulang. Metode penenang darurat jika sedang panik. Sebuah sentakan halus menarik tangannya.
            “Ada apa?” Gabe menoleh pada bocah lelaki itu
              Ia menggeleng sesaat, berbicara dengan suara pelan nyaris berbisik “Dia ayahku.”
            “Apa?!” Gabe memekik, lalu tersadar ia sedang berbicara dengan anak kecil. “Oh, maaf sayang. Apa kau juga melihat wanita itu?” Gabe bertanya dengan nada khawatir, cemas dengan apa yang telah disaksikan anak ini.
             “Ibu.”
             Gabe terkejut. Ia memeluk tubuh kecil anak itu, mengusap rambut pendeknya dengan lembut. “Siapa namamu?”
             “Edward.”
             “Aku Gabe. Aku akan menyelamatkanmu, Edward.”
             Mereka kembali berlari. Melewati lorong remang-remang dengan tergesa. Bunyi derap langkah yang bertubi-tubi menggema di belakang mereka. Gabe berteriak minta tolong. Pria itu akan mendengarnya.
         Kemana semua orang di apartemen ini? Seperti menghilang begitu saja terbawa angin. Mereka memasuki lorong lain. Jejeran bunga peony liar menggantung di langit-langit. Setiap kelopaknya mengejek Gabe.
             Seseorang muncul di balik sebuah pintu yang setengah terbuka di depannya. Wanita bertudung hitam berjalan kearah meraka. Gabe berteriak memanggilnya.
          “Hei! Nyonya! Tolong! Ada orang gila yang ingin membunuh kami di sana!” Gabe menunjuk lorong yang baru saja dilewatinya.
         Wanita itu hanya menunduk. Meneruskan langkahnya seolah Gabe dan bocah kecil itu tak pernah melintas di depannya. Mengabaikan setiap teriakan panik ketakutan Gabe.
        “Apa kau tuli? Jangan berjalan ke sana!” Gabe mulai mengamuk. Punggung wanita bertudung itu menghilang di ujung lorong. Edward menarik-narik tangan Gabe. Mengajaknya berlari ke tempat yang lebih aman.
           Belum tapak sepatunya meninggalkan lantai, suara langkah yang terseret menggema di tempat wanita bertudung itu menghilang. Semakin mendakati Gabe dan Edward. Cahaya remang berganti kegelapan.
           Suara langkah terseret itu lenyap. Bersamaan udara di sekitar mereka, tercium aroma gas bocor. Gabe terseret sesuatu.
        “Edward! Lari!” Gabe mencakar-cakar lantai. Berusaha meraih sesuatu untuk menghentikan tangan kasar yang menyeretnya. Lampu menyala redup. Samar-samar ia melihat Edward pergi dengan wajah ketakutan.
            Pria itu akan membakar tempat ini. Gabe harus melepaskan dirinya atau ia akan mati di tempat ini. Lalu melupakan janjinya untuk menyelamatkan Edward.
           “Aargh!” Gabe mengerang. Menendangkan kakinya dengan liar
            Pria itu terjatuh, lalu kembali berdiri secepat jatuhnya. Buru-buru Gabe berdiri menjauhinya. Mereka berhenti di tangga.
“Mau berlari lagi, Nona?”
Tangan kanannya merogoh pisau di balik jaket tebalnya. Gabe tersesak panik. Pria itu meraih tangan Gabe. Bersiap menghujamnya dengan beberapa tusukan. Mereka saling mendorong. Posisi Gabe yang lebih tinggi dari pria itu membuatnya lebih kuat dalam tekanan. Gabe berusaha memutar arah mata pisau kembali ke pria itu.
“Jangan halangi aku!” Pria itu berteriak kasar
Sayup-sayup, terdengar suara Edward yang ketakutan. Memanggil-manggil nama Gabe. Gadis itu mengerahkan seluruh tenaganya. Kekuatan yang entah dari mana asalnya, membatu Gabe menghujamkan mata pisau di dada pria itu. Darah memuncrat ke leher dan dagunya. Pria itu ambruk.
Gabe berusaha melepaskan genggaman pria itu dari tangannya. Ia memukul-mukul dengan kasar.
“Dia bukan anakku!” Ia terbatuk, memuntahkan darah segar dari mulutnya.
“Kau gila! Kau sudah membunuh istrimu dan sekarang kau akan membunuh anakmu! Dan juga aku! Lepaskan!” Gabe meronta.
“Dia yang membunuh istriku! Aku melihatnya sendiri!” ia kembali berteriak, menangis. Gabe terdiam. Pria ini sedang membual.
“Dia bukan lah seorang bocah kecil tak berdosa seperti yang kau lihat!” Pria itu mengerang kesakitan, genggaman tangannya melonggar. “Istriku baru mengetahui ia mengidap penyakit yang membuat tubuhnya berhenti berkembang secara fisik, ia pria dewasa, ia bukan manusia!”
Kali ini Gabe benar-benar terdiam. Berusaha tak memercayai apa yang dikatakan pria ini. Tidak mungkin.
“Kau harus lari, sebelum ia meledakan tem..”
Edward berdiri di atas tubuh pria itu. Menginjak pisau yang menancap di dadanya. Hingga melesak tembus ke balik punggungnya. Gabe tersentak ke belakang. Berusaha berlari meski terpeleset beberapa kali. Edward masih berdiri di belakangnya, di atas mayat pria itu.
Bukannya berlari ke luar gedung ini, Gabe masuk ke sebuah ruangan di ujung lorong terakhir. Ia mengunci pintu dengan asal. Berlari ke bawah meja, bersembunyi di sana dari Edward. Tapi ia ada di sana. Dengan darah  yang menetes di bibir penuhnya. Gabe akan mati, titik.
                                                                 ***
Sebuah ledakan warna membutakan mata Gabe. Kulitnya tidak terasa panas ataupun perih. Bahkan hangat pun tidak. Perlahan ia mengintip dari balik bulu matanya. Ia masih di bawah meja yang sama. Hanya saja Edward tak lagi di sana. Seluruh ruangan berubah putih bersih. Mungkin ia telah mati.
Seorang wanita berseragam serba putih membuka pintu. Kedua tangannya membawa sebuah nampan berisi segelas air putih, dan sebuah botol kecil dengan tulisan Zyprexa pada labelnya. Ia mengajak Gabe keluar dari tempat persembunyiannya yang aman. Saat Gabe melangkah, ia melihat ke pintu yang menganga lebar.
Edward sedang berdiri di sana. Menatapnya.
“Apa kau akan menyelamatkanku?”
                                                                 ***

           
           


No comments:

Post a Comment