Ia melihat jasad seorang wanita terkapar di bawah
kakinya. Diantara semak mawar. Dengan leher yang nyaris putus. Dan ia melihatnya, bersamaan dengan pria itu melihat dirinya. Seorang bocah lelaki
dengan lollipop ditangan. Berdiri tak jauh dari tempat pria itu menggeram,
bersiap menikam nyawa tak bersalah itu. Lalu dirinya.
Gabe memandang dengan tatapan memohon. Berharap sesuatu datang
menunda kematiannnya. Pria itu menghentikan langkahnya. Mendengus di bawah
sinar lampu kekuningan yang meredup. Gabe menyambar tangan bocah lelaki itu
secepat cahaya padam. Berlari memutar arah.
Hampir menabrak pintu masuk ke sebuah ruangan, mereka
menghentikan langkah. Gabe melihat sekitarnya, mencoba menyesuaikan pandangan
dalam temaram. Tidak ada tanda-tanda pria itu mengejar mereka. Mungkin ia akan
mucul secara tiba-tiba di depan wajahnya.
“Di mana keluargamu?” Gabe bertanya dengan nafas
tersengal. Tubuhnya terasa panas dan dingin disaat yang sama. Ia kembali
menoleh ke belakang. Lalu kembali menatapnya.
Bocah lelaki itu menunjuk ke arah tempat mereka berada
sebelumnya. Gabe terdiam sejenak. Mencoba memahami.
“Keluargamu berada di sekitar tempat tadi? Kalau begitu
kita harus mencari jalan lain untuk kembali ke sana.”
Gabe menarik dan menghembuskan nafas berulang-ulang. Metode
penenang darurat jika sedang panik. Sebuah sentakan halus menarik tangannya.
“Ada apa?” Gabe menoleh pada bocah lelaki itu
Ia menggeleng sesaat, berbicara dengan suara pelan nyaris
berbisik “Dia ayahku.”
“Apa?!” Gabe memekik, lalu tersadar ia sedang berbicara
dengan anak kecil. “Oh, maaf sayang. Apa kau juga melihat wanita itu?” Gabe
bertanya dengan nada khawatir, cemas dengan apa yang telah disaksikan anak ini.
“Ibu.”
Gabe terkejut. Ia memeluk tubuh kecil anak itu, mengusap rambut
pendeknya dengan lembut. “Siapa namamu?”
“Edward.”
“Aku Gabe. Aku akan menyelamatkanmu, Edward.”
Mereka kembali berlari. Melewati lorong remang-remang
dengan tergesa. Bunyi derap langkah yang bertubi-tubi menggema di belakang
mereka. Gabe berteriak minta tolong. Pria itu akan mendengarnya.
Kemana semua orang di apartemen ini? Seperti menghilang
begitu saja terbawa angin. Mereka memasuki lorong lain. Jejeran bunga peony
liar menggantung di langit-langit. Setiap kelopaknya mengejek Gabe.
Seseorang muncul di balik sebuah pintu yang setengah
terbuka di depannya. Wanita bertudung hitam berjalan kearah meraka. Gabe
berteriak memanggilnya.
“Hei! Nyonya! Tolong! Ada orang gila yang ingin membunuh
kami di sana!” Gabe menunjuk lorong yang baru saja dilewatinya.
Wanita itu hanya menunduk. Meneruskan langkahnya seolah
Gabe dan bocah kecil itu tak pernah melintas di depannya. Mengabaikan setiap teriakan
panik ketakutan Gabe.
“Apa kau tuli? Jangan berjalan ke sana!” Gabe mulai
mengamuk. Punggung wanita bertudung itu menghilang di ujung lorong. Edward
menarik-narik tangan Gabe. Mengajaknya berlari ke tempat yang lebih aman.
Belum tapak sepatunya meninggalkan lantai, suara langkah
yang terseret menggema di tempat wanita bertudung itu menghilang. Semakin mendakati
Gabe dan Edward. Cahaya remang berganti kegelapan.
Suara langkah terseret itu lenyap. Bersamaan udara di
sekitar mereka, tercium aroma gas bocor. Gabe terseret sesuatu.
“Edward! Lari!” Gabe mencakar-cakar lantai. Berusaha meraih
sesuatu untuk menghentikan tangan kasar yang menyeretnya. Lampu menyala redup. Samar-samar
ia melihat Edward pergi dengan wajah ketakutan.
Pria itu akan membakar tempat ini. Gabe harus melepaskan
dirinya atau ia akan mati di tempat ini. Lalu melupakan janjinya untuk
menyelamatkan Edward.
“Aargh!” Gabe mengerang. Menendangkan kakinya dengan liar
Pria itu terjatuh, lalu kembali berdiri secepat jatuhnya.
Buru-buru Gabe berdiri menjauhinya. Mereka berhenti di tangga.
“Mau berlari lagi, Nona?”
Tangan kanannya merogoh
pisau di balik jaket tebalnya. Gabe tersesak panik. Pria itu meraih tangan Gabe.
Bersiap menghujamnya dengan beberapa tusukan. Mereka saling mendorong. Posisi Gabe
yang lebih tinggi dari pria itu membuatnya lebih kuat dalam tekanan. Gabe berusaha
memutar arah mata pisau kembali ke pria itu.
“Jangan halangi aku!”
Pria itu berteriak kasar
Sayup-sayup, terdengar
suara Edward yang ketakutan. Memanggil-manggil nama Gabe. Gadis itu mengerahkan
seluruh tenaganya. Kekuatan yang entah dari mana asalnya, membatu Gabe menghujamkan
mata pisau di dada pria itu. Darah memuncrat ke leher dan dagunya. Pria itu
ambruk.
Gabe berusaha melepaskan
genggaman pria itu dari tangannya. Ia memukul-mukul dengan kasar.
“Dia bukan anakku!” Ia
terbatuk, memuntahkan darah segar dari mulutnya.
“Kau gila! Kau sudah
membunuh istrimu dan sekarang kau akan membunuh anakmu! Dan juga aku! Lepaskan!”
Gabe meronta.
“Dia yang membunuh
istriku! Aku melihatnya sendiri!” ia kembali berteriak, menangis. Gabe terdiam.
Pria ini sedang membual.
“Dia bukan lah seorang
bocah kecil tak berdosa seperti yang kau lihat!” Pria itu mengerang kesakitan,
genggaman tangannya melonggar. “Istriku baru mengetahui ia mengidap penyakit yang
membuat tubuhnya berhenti berkembang secara fisik, ia pria dewasa, ia bukan
manusia!”
Kali ini Gabe benar-benar
terdiam. Berusaha tak memercayai apa yang dikatakan pria ini. Tidak mungkin.
“Kau harus lari, sebelum
ia meledakan tem..”
Edward berdiri di atas
tubuh pria itu. Menginjak pisau yang menancap di dadanya. Hingga melesak tembus
ke balik punggungnya. Gabe tersentak ke belakang. Berusaha berlari meski
terpeleset beberapa kali. Edward masih berdiri di belakangnya, di atas mayat
pria itu.
Bukannya berlari ke luar
gedung ini, Gabe masuk ke sebuah ruangan di ujung lorong terakhir. Ia mengunci
pintu dengan asal. Berlari ke bawah meja, bersembunyi di sana dari Edward. Tapi
ia ada di sana. Dengan darah yang menetes
di bibir penuhnya. Gabe akan mati, titik.
***
Sebuah ledakan warna
membutakan mata Gabe. Kulitnya tidak terasa panas ataupun perih. Bahkan hangat
pun tidak. Perlahan ia mengintip dari balik bulu matanya. Ia masih di bawah
meja yang sama. Hanya saja Edward tak lagi di sana. Seluruh ruangan berubah putih
bersih. Mungkin ia telah mati.
Seorang wanita berseragam
serba putih membuka pintu. Kedua tangannya membawa sebuah nampan berisi segelas
air putih, dan sebuah botol kecil dengan tulisan Zyprexa pada labelnya. Ia mengajak
Gabe keluar dari tempat persembunyiannya yang aman. Saat Gabe melangkah, ia
melihat ke pintu yang menganga lebar.
Edward sedang berdiri di
sana. Menatapnya.
“Apa kau akan
menyelamatkanku?”
***
No comments:
Post a Comment