Sunday 11 January 2015

Remember you

                “Ada teori?” Jim bertanya padaku. Kepulan uap dingin terus berhembus dari mulutnya. Kami sedang berjalan di atas dermaga, menuju ke sebuah pesiar megah. Beberapa gadis dengan penutup telinga berbulu lembut berdiri di sekitar kapal. Cukup banyak orang yang berkeliaran di seluruh bagian kapal.
           Aku berusaha menyimak kata-kata Jim barusan, rasanya sukar untuk berkonsentrasi. “Tidak, aku menyerah.” Ucapku dengan tegas. Tiupan liar angin laut terasa meredam suara hingga aku harus sedikit berteriak pada Jim. Ia tersenyum, lalu menyelipkan kembali helaian rambutku  yang mencuat dari balik topi wol hitam yang hangat. Rasanya sedikit menyenangkan. Seperti aku pernah melewati saat seperti ini, ada hal yang akrab di balik senyumnya. Entah apa itu.
    Kami menaiki tangga menuju bagian geladak kapal yang sepi. Aku masih belum tahu tujuan kapal ini. Aku juga tak tahu apa tujuanku ke sini bersama orang yang beberapa waktu ini mengaku mengenalku sebagai temannya. Rasa ingin tahu terus menggelitikku.
             Langit kota Fort Bragg masih belum berubah. Mendung seperti semalam. Hanya saja, cahaya matahari yang berpendar di dalam awan kelabu membuatnya sedikit lebih cerah. Jim meninggalkanku sebentar untuk mengambil minuman. Sementara itu, udara asin lautan merasuki tubuhku dalam tiupan sejuk. Samar-samar aroma amis ikut terbawa di dalamnya. Sebuah sentakan halus menyadarkanku kapal ini baru saja berjalan meninggalkan dermaga. Aku melirik ke bawah permukaan air. Kira-kira sembilan meter dari tempatku berdiri. Aku menimbang-nimbang bagaimana rasanya jatuh dari ketinggian seperti ini.
                       “Pria yang duduk di bar itu parah!” Jim berseru setiba di sampingku. Ia mebawa dua gelas coke dan menyerahkan salah satunya untukku. Lihat siapa yang mau berbagi.
                     “Trims, Jim. Jadi, apa dia muntah?” aku menyesap minumanku. Tegukan pertama terasa menyengat ditenggorokan.
                     Jim melemparkan mimik ngeri, membuatnya tampak lucu. “Tidak, dia hanya menumpahkan minumannya sendiri lalu menyalahkanku yang berdiri di sebelahnya, sangat masuk akal.”
              “Terlalu pagi untuk mabuk,” ucapku, kami tertawa kecil. Seharusnya aku merasa canggung. Pergi ke tempat antah berantah bersama Jim. Tapi ia membuatku merasa nyaman. Seperti, kemana saja asal bersamamu! Kurasa aku mulai gila. 
             Seorang pria gemuk berjalan dengan gontai dari dalam bar. Tampangnya berantakan. Kupikir ia pria yang dimaksud Jim. Apa ia akan menghampiri kami untuk memarahi Jim? Semoga Tuhan menjauhkannya dari kami. Aku menoleh ke arah Jim, memberi isyarat padanya.
                    “Oh, kau benar Loren, itu prianya.”
Saat Jim menoleh, pria itu berbelok ke sisi lain kapal. Tidak terlalu jauh dari kami. Jari-jari raksasanya mencengkram pagar pembatas. Tubuh gemuknya tampak tak dapat menahan bobotnya yang kelebihan lemak untuk tetap berdiri. Oleng sesaat dan ia runtuh. Tersungkur jatuh ke lautan.
                       Bagaimana ini?! Pria itu tercebur dan hanya kami yang melihatnya. Seseorang harus menolongnya. Kulihat  Jim segera berlari ke tempat terakhir pria itu berdiri. Melepas sepatu dan bersiap meloncat. 
                 “Jim!”
                “Aku harus melakukannya atau ia akan tenggelam, Loren!” 
Detik berikutnya ia telah meluncur bagai rudal yang membelah air di bawah sana. Tidak. Jim tak bisa menyelamatkan pria itu sendiri.
          “Tolong! Seseorang tenggelam! Tolong!” aku berteriak sekuat tenaga seperti orang sinting. Orang-orang mulai berlarian ke arahku. Seorang petugas kapal yang pertama tiba melemparkan sebuah ban penyelamat berukuran kecil.
                          “Apa kau gila? Ban itu bahkan tak mampu menahan tubuh gemuk pria itu! Temanku juga ada di bawah sana!” 
Petugas itu malah berlari sambil mengucapkan sesuatu yang tak dapat kudengar. Oh, mungkin ia tak bisa berenang, hebat sekali! Dan orang-orang yang berkerumun di sepanjang pagar pembatas hanya bisa melihat ke bawah sana dengan ngeri. Mereka cuma sampah di saat seperti ini.
                        Di mana Jim? Kenapa ia tak muncul-muncul juga ke permukaan? Aku tidak bisa menunggu. Aku harus meloncat saat ini juga. Persetan dengan sepatu dan celana jeans. Tanpa aba-aba, aku merasakan tubuh ini melayang, jatuh ke dalam air dengan cepat. Menunggu sampai tubuhku berhenti meluncur. Aku bisa mendengar suara orang-orang itu berteriak panik di atas sana.
                         Angin yang tadi terasa nikmat, sekarang menusuk-nusuk kulitku dengan tajam saat aku kembali ke permukaan. Aku masih bisa mengabaikannya, tapi ketika berenang adalah sesuatu yang sulit, di  situ lah kau harus panik. Bagus. Kakiku kram karena air yang membeku ini.
                    “Bertahanlah Nona! Kami akan menurunkan sekoci!” teriak suara seorang pria. Tenang saja, aku masih bisa mengambang.
               “Jim!” yang ada dipikiranku hanya pria itu. Tiga meter di belakangku, ia muncul di balik tubuh pria gemuk yang pingsan itu. Ia nyaris tenggelam. Tubuhku melemah, sesuatu menyerang kepalaku. Saat tegukan pertama air laut menyatu bersama lidahku. Aku tahu siapa Jim.
                                    ***
      Loren mengalami geger otak karena kecelakaan itu. Ia tak dapat mengingat apa pun. Siapa pun. Berkat terapi, sudah beberapa waktu ini ia mengalami kemajuan. Tidak semuanya. Ingatan itu datang seperti saat kau merasakan dejavu. Tapi ia masih belum mengingat siapa aku. Cincin tunangan kami masih melingkar di jari manisnya. Ia hanya mengira itu perhiasan biasa. Aku tidak ingin ia terlalu banyak berpikir. Tahu itu hanya membuatnya sakit.
  Hari ini, aku ingin mengajaknya ke tempat saat pertama kali kami bertemu. Berharap ia bisa mengingatnya. Tapi, pria tua gemuk bagai babi ternak yang akan dihidangkan di malam natal ini menunda rencanaku. Tidak hanya menunda, ia berhasil membuat Loren terjun bebas dari atas sana. Terhalang oleh tubuh pria tua ini, aku melihatnya tergagap di atas air. Separuh tenggelam. Tuhan pasti sedang menyiksaku, jika saja sekoci penyelamat tidak datang dengan cepat.
                      "Loren! Jangan lepaskan tanganmu dari ban itu!" ia tak menjawab, sekedar mengangguk pun tidak. Ya Tuhan, jangan ambil dia dariku saat ini. Sekoci sialan itu masih dua meter dariku. Dan seorang pria melompat untuk mengambil alih tubuh berat pria itu. 
                      Saat aku melihat ke arah Loren, ia tenggelam. "Loren!" Aku dipaksa merasakan ketakutan itu sekali lagi. Melawan arus, aku berenang secepat mungkin. Dengan satu tarikan nafas, mencoba mencapai kepalanya, lalu pipinya, leher..dan bahunya.
                 Ia terbatuk saat menghirup udara di atas permukaan. 
                        "Jimmy! Jimmy!" Loren memelukku erat. Bibirnya bergetar kedinginan. "Aku mengingatmu! Kapal ini, cincin ini juga!"
                      Kini aku percaya adanya mukjizat Tuhan. Bahkan kata-kata indah pun tak dapat melukiskan apa yang aku rasakan bersamanya saat ini. Berpelukan di antara ban penyelamat, di atas permukaan air yang terasa hangat.
                                       ***

No comments:

Post a Comment