Tuesday 22 September 2015

Monster

By G. Meidita


Jarum jam terus berdetak.

Di luar sana, bulan tertutup awan kelabu. Suara-suara hewan malam terdengar sayup. Di dalam kegelapan, tubuh wanita itu mulai bergemetar, bersandar pada dinding kayu yang membeku di balik punggungnya.

Ponsel layar sentuh melekat di telinga kirinya. Sebuah kotak suara menyahut.

Hai, ini Charlie, silahkan tinggalkan pesan..

Wanita itu menarik napas, "C-Charlie, dia..dia ada di sini, aku tidak bisa bersembunyi lagi, Charlie.." ia terdiam, mata cokelatnya terpaku pada pintu kamar.

Terdengar derap langkah sepatu.

Kenop pintu berputar. Engselnya yang berkarat berderit dengan mengerikan. Pintu itu terbuka lebar. Siluet seseorang mematung di ambang pintu.

Wanita itu menelan ludahnya. Perlahan berbisik dengan suara yang nyaris menghilang.

"..tolong aku."
                                                                    **

Jarum kecepatan pada spidometer mobil pria itu hampir menyentuh angka delapan puluh mil per jam. Pandangannya terpaku pada jalanan yang tertimpa cahaya lampu mobil. Kedua tangannya mencengkram roda kemudi erat-erat.

Cemas. Gusar. Takut. Marah. Khawatir. Semua tergambar jelas pada wajah ovalnya. Ia memelankan laju mobil, lalu meraih ponsel dari saku kanan kemejanya. Mencoba menghubungi wanita itu.

"Ayolah, Ruby, angkat teleponnya." Ia mendesah kesal.

Tidak ada jawaban. Seperti beberapa jam yang lalu.

Pria itu melempar ponselnya ke kursi penumpang di sebelahnya dengan kasar. Setelah terbanting keras ke pintu, ponsel malang itu mendarat sepuluh sentimeter dari sepatunya. Mobil itu berbelok ke kiri. Melewati sebuah tikungan sekali lagi, kemudian terlihat olehnya puncak atap rumah wanita itu.

Gelap. Tak ada lampu yang menyala di dalam sana.

Tengkuknya meremang. Ia menatap rumah itu dengan ngeri. Monster itu pasti sudah masuk ke dalam sana dan menemukan Ruby-nya.

Kekasihnya.

Didukung perasaan marah dan benci, ia melangkahkan kaki lebar-lebar ke dalam rumah. Napasnya menggebu saat menaiki tangga di teras. Dan ia terkejut menyadari pintu dari kayu ek itu tak terkunci. Terbuka begitu saja saat ia menendangnya. Pria itu langsung berlari ke tangga, menuju kamar kekasihnya di sudut ruangan lantai atas.

Dalam hati, ia memanjatkan seribu doa. Berharap ia sedang tertidur pulas. Berharap tidak ada hal buruk yang menimpanya. Berharap kekasihnya masih bernapas.

Melalui jendela-jendela yang tak bertirai, sinar lampu jalan menyisakan cahaya remang pada lantai bagian atas. Ia bisa melihat pintu kamar berwarna biru pudar itu ternganga lebar. Langkahnya terhenti saat ia melihat kondisi di dalam kamar Ruby. Isi bantal berhamburan di atas lantai. Pecahan cermin di mana-mana. Ranjang putih terbalik di atas kerangkanya. Semua berantakan. Napas pria itu tercekat ketika sudut matanya menangkap ceceran darah yang tampak mengkilat di sudut ruangan. Apakah itu darah kekasihnya?

Tangan kirinya meraba-raba dinding, mencari tombol untuk menyalakan lampu. Ternyata listrik rumah itu telah diputuskan. Ia mendengus geram, bertanya-tanya di dalam hati. Di mana kekasihnya sekarang? Apa yang telah monster itu lakukan padanya? Ia tak berani membayangkan bagaimana darah itu keluar melalui tubuh wanita itu.

Saat akan membalikkan badan, sesuatu di atas meja rias menarik perhatiannya. Tampak sebuah tumpukkan kertas yang telah dikoyak menjadi serpihan-serpihan kecil. Pria itu melangkah dengan hati-hati, mencoba melihat lebih dekat.

Secarik potongan kertas yang berukuran lebih besar dari potongan yang lainnya terletak di bagian atas tumpukkan kecil itu. Di sana tertulis sebuah nama.

Trey.

Seolah baru tersadar jika ia melewatkan sesuatu, pria itu terperanjat sendiri.

"Sialan!" Ia berseru, sedikit jengkel karena baru mengingat nama itu. Gambaran sebuah rumah pondok kayu melintas di otaknya yang sedang kalut. Pantas saja ia merasa tak asing dengan nama itu. Ruby pasti berada di sana!

Wanita itu pernah bercerita padanya tentang rumah pondok milik keluarga sahabatnya, Trey. Pondok kayu yang tak lagi dikunjungi oleh keluarga itu adalah tempat favoritnya. Berada di dalam sana bisa membuatnya merasa lebih tenang dan aman.

Tapi tidak jika monster itu juga berada di sana.

Pria itu bergegas berlari ke luar rumah. Meloncat masuk ke dalam mobil dan menginjak pedal gas hingga menimbulkan bunyi decitan yang memilukan pada ban belakangnya. Rumah pondok itu tidak jauh dari sini. Mungkin hanya tiga mil. Tapi setiap menit sangat berarti untuk nyawa kekasihnya itu. Ia melirik jam di dasbor.

Pukul dua pagi.

Tidak butuh waktu lama untuk tiba di sana jika kau sedang menyelamatkan nyawa kekasihmu di saat semua orang sedang terlelap. Tapi pria itu merasa mobilnya hanya berjalan di tempat. Di depan sana, pepohonan yang rimbun mengiringinya dalam gelap, hingga perkarangan milik pondok kayu itu mulai terlihat. Keadaannya sama seperti tempat tinggal kekasihnya.

Gelap.

Jantung pria itu berdebar dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Mobil Ruby ada di sana. Mungkin monster itu sudah mendahuluinya datang ke sini. Dan Ruby..wanita itu..

Ditepisnya perkiraan buruk itu jauh-jauh. Tanpa mematikan mesin mobil, ia bergegas masuk ke dalam pondok kayu itu sambil menendang pintunya dengan keras. Lagi-lagi pintu yang tak terkunci. Ruangan di depannya kosong. Cahaya lampu mobil yang menyorot ke dalam sana membiaskan cahaya ke seisi pondok kecil itu. Memperlihatkan hanya ada satu kamar di dalam sana.

Sesuatu mengalir melalui bagian bawah pintu.

Tanpa perlu melihat dua kali, pria itu yakin jika yang mengalir itu darah. Bukannya getah pohon. Di saat yang sama, pintu yang tertutup itu mengayun terbuka. Tanpa tanda-tanda seseorang akan keluar.

Pria itu berjalan mendekat. Satu-satunya suara yang ia dengar hanyalah detak jantungnya yang berdegup begitu keras. Ragu-ragu, ia mengulurkan tangan kanannya dan mendorong pintu itu agar terbuka lebih lebar lagi. Awalnya ia mengira tidak ada satu orang pun di dalam sana, tapi siluet seorang pria yang bergerak di sudut ruangan membuatnya terlonjak ke belakang.

"Trey?" Ia memanggil dengan suara parau.

Sosok itu tertawa sinis. "Trey sudah mati." Ucapnya dingin.

Suara itu..

Pria itu tahu, sosok yang sedang berdiri di dalam kegelapan itu adalah monster yang mengejar kekasihnya. Dan mungkin telah membunuh wanita itu.

"Kau.." pria itu merasakan amarahnya berkumpul menjadi satu di dalam tenggorokannya, "..di mana Ruby?! Kauapakan dia?!" pekiknya nyaring.

Tubuh sosok itu bergetar karena ia tertawa terbahak-bahak. Sejurus kemudian ia mencoba berbicara meski dengan suara yang bergetar, "kenapa kau bertanya padaku? Bukankah kau itu pacarnya? Dasar pria aneh." Ia tertawa lagi.

Pria itu melihat sekitarnya, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyerang monster itu. Berani-beraninya dia menghina dirinya di saat seperti ini. Setelah ia mengambil Ruby darinya.

Di dekat perapian, sebuah besi yang biasa digunakan untuk membalikkan kayu bakar di dalam sana tergeletak di atas lantai kayu. Pria itu nyaris terjengkang saat mengambilnya dengan tergesa.

"Jika kau tidak ingin aku membenturkan benda ini ke kepalamu, katakan di mana Ruby sekarang."

Sosok itu meludah ke samping. Lalu terkekeh kecil sebelum berkata dengan nada meremehkan, "Kau mengancamku? Huh?"

Pria itu hanya diam. Menunggu jawaban sosok itu dengan napas yang menderu. Bukti jika ia tidak sedang bercanda.

"Mati." Sosok itu berbisik, "dia-sudah-mati." Jelasnya dengan penekanan disetiap kata.

Pria itu menggelengkan kepala. Mengumandangkan kata 'tidak' di dalam hatinya berulang kali. Ruby.. kekasihnya itu telah tiada. Bohong. Itu tidak mungkin. Sosok itu pasti berbohong. Bagaimana bisa? Apa salah wanita itu? Ia memandang sosok itu dengan kebencian yang tidak ditutup-tutupi. Besi pengait di tangannya terangkat. Lalu melayang tepat ke wajah sosok itu hingga tubuhnya terjungkal ke belakang.

Pria itu masih berdiri di sana. Menunggu sosok itu bangkit dari rasa sakitnya dan ia akan menghancurkan kepala sombongnya itu. Sosok itu bergerak-gerak. Lalu berdiri secara perlahan. Tertawa.

"Apa kau mau tahu di mana tubuh wanita itu sekarang?"

Pria itu terdiam di tempat ia berdiri saat sosok itu melangkah ke arahnya dengan lambat.

"Apa kau mau tahu bagaimana wanita itu mati?"

Sosok itu semakin mendekat ke arahnya. Perlahan, cahaya yang temaram mulai
menyinari kakinya, tubuhnya, lengan, lalu naik ke wajahnya.

"Aku meremukkan kepalanya dengan besi itu." Ia berkata datar.

Pria itu merasakan kedua tungkainya melemas.

Sosok yang sedang berdiri di hadapannya saat ini, monster yang dikiranya selama ini..

Adalah dirinya sendiri.

Hanya berjarak satu meter, seakan berdiri di depan cermin, pria itu berusaha mempertahankan kewarasannya.

"Siapa kau?" Tanyanya dengan suara kecil.

Sosok yang menyerupai dirinya itu melipat tangan di depan dada, "mungkin aku saudaramu, putramu, atau diri sendiri. Kita berasal dari jiwa yang sama." Bibir tipisnya membentuk cengiran licik. "Manis bukan?"

Pria itu mundur ke belakang, lalu tersandung kakinya sendiri hingga jatuh terduduk dengan keras. Mulutnya tak dapat berkata-kata lagi. Tapi sorot matanya menyiratkan kebingungan, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

"Astaga, mungkin obat-obatan itu telah membuat kau jadi pelupa, Dell." Sosok itu berkata lagi, "Biar kuperjelas.." ia beranjak ke sisi kanan Dell, duduk menghadapnya dengan kedua kaki yang dilipat.

Pria itu hanya mematung tanpa berani menatap 'kembarannya'.

"Ingat saat kau masuk ke kamar Ruby lima jam yang lalu? Tidak? Payah. Kau telah menemukan surat rahasia dari Trey di atas meja riasnya. Hah, pria yang norak. Lelaki itu bilang dia akan menunggu kekasihmu seperti biasanya di pondok ini, aku heran kenapa wanita itu berani menaruhnya dengan sembarang, lalu kau mengoyak-ngoyakkannya dan bertekad untuk membunuh Trey. Oh, ya, sebelumnya kalian sempat bertengkar di kamar itu karena Ruby lebih memilih membela sahabatnya dibanding kau, dan dia mulai menghubungi adikmu, Charlie, saat kau juga berniat membunuhnya."

"Dia bilang apa ya? Oh! Katanya kau kehilangan kesadaranmu. Aku suka saat melihatnya berlari ketakutan ke pondok ini untuk memberi tahu Trey ketika kau sedang  memporak-porandakan kamarnya, bodohnya pria itu tak percaya, tapi bagus juga, sih, jadi kau bisa membunuhnya dengan mudah. Dan ini bagian yang paling kusuka, wanita itu bersembunyi di sini untuk menghubungi Charlie sekali lagi, kemudian kau datang dan yah, setelah itu kau seperti orang sinting, mondar-mandir di depan sana, lalu pergi entah ke mana, dan.."

Sosok itu terdiam. Melihat wajah kosong Dell, ia kembali tertawa terbahak-bahak. "Lihat wajahmu, Dell! Kau seperti orang gila!" Ia berseru di depan wajah Dell, "Sebenarnya kau memang gila! Ruby yang malang, mau saja mengencani orang aneh seperti kau." Ia kembali menertawakan Dell.

Terdengar sirine mobil polisi dikejauhan, semakin nyaring saat mereka memasuki perkarangan pondok kayu itu. Seorang wanita berlari ke depan mobil Dell, menutupi sebagian cahaya lampu mobil yang menyorot ke dalam pondok dengan bayangan tubuhnya.

"Dell?" Ia memanggil ragu. Bertemankan dua orang petugas polisi—dengan pistol yang teracung ke depan—di kedua sisinya, wanita itu mengintip ke dalam.

Kakak lelakinya itu sedang duduk di atas lantai kayu. Berlumuran darah. Tertawa terbahak-bahak seorang diri ke arah pintu kamar yang terbuka. Di mana dua tubuh kaku yang wajahnya tak dapat dikenali lagi tergeletak di dalam sana.

                                                                    **

No comments:

Post a Comment