Tuesday, 22 September 2015

Monster

By G. Meidita


Jarum jam terus berdetak.

Di luar sana, bulan tertutup awan kelabu. Suara-suara hewan malam terdengar sayup. Di dalam kegelapan, tubuh wanita itu mulai bergemetar, bersandar pada dinding kayu yang membeku di balik punggungnya.

Ponsel layar sentuh melekat di telinga kirinya. Sebuah kotak suara menyahut.

Hai, ini Charlie, silahkan tinggalkan pesan..

Wanita itu menarik napas, "C-Charlie, dia..dia ada di sini, aku tidak bisa bersembunyi lagi, Charlie.." ia terdiam, mata cokelatnya terpaku pada pintu kamar.

Terdengar derap langkah sepatu.

Kenop pintu berputar. Engselnya yang berkarat berderit dengan mengerikan. Pintu itu terbuka lebar. Siluet seseorang mematung di ambang pintu.

Wanita itu menelan ludahnya. Perlahan berbisik dengan suara yang nyaris menghilang.

"..tolong aku."
                                                                    **

Jarum kecepatan pada spidometer mobil pria itu hampir menyentuh angka delapan puluh mil per jam. Pandangannya terpaku pada jalanan yang tertimpa cahaya lampu mobil. Kedua tangannya mencengkram roda kemudi erat-erat.

Cemas. Gusar. Takut. Marah. Khawatir. Semua tergambar jelas pada wajah ovalnya. Ia memelankan laju mobil, lalu meraih ponsel dari saku kanan kemejanya. Mencoba menghubungi wanita itu.

"Ayolah, Ruby, angkat teleponnya." Ia mendesah kesal.

Tidak ada jawaban. Seperti beberapa jam yang lalu.

Pria itu melempar ponselnya ke kursi penumpang di sebelahnya dengan kasar. Setelah terbanting keras ke pintu, ponsel malang itu mendarat sepuluh sentimeter dari sepatunya. Mobil itu berbelok ke kiri. Melewati sebuah tikungan sekali lagi, kemudian terlihat olehnya puncak atap rumah wanita itu.

Gelap. Tak ada lampu yang menyala di dalam sana.

Tengkuknya meremang. Ia menatap rumah itu dengan ngeri. Monster itu pasti sudah masuk ke dalam sana dan menemukan Ruby-nya.

Kekasihnya.

Didukung perasaan marah dan benci, ia melangkahkan kaki lebar-lebar ke dalam rumah. Napasnya menggebu saat menaiki tangga di teras. Dan ia terkejut menyadari pintu dari kayu ek itu tak terkunci. Terbuka begitu saja saat ia menendangnya. Pria itu langsung berlari ke tangga, menuju kamar kekasihnya di sudut ruangan lantai atas.

Dalam hati, ia memanjatkan seribu doa. Berharap ia sedang tertidur pulas. Berharap tidak ada hal buruk yang menimpanya. Berharap kekasihnya masih bernapas.

Melalui jendela-jendela yang tak bertirai, sinar lampu jalan menyisakan cahaya remang pada lantai bagian atas. Ia bisa melihat pintu kamar berwarna biru pudar itu ternganga lebar. Langkahnya terhenti saat ia melihat kondisi di dalam kamar Ruby. Isi bantal berhamburan di atas lantai. Pecahan cermin di mana-mana. Ranjang putih terbalik di atas kerangkanya. Semua berantakan. Napas pria itu tercekat ketika sudut matanya menangkap ceceran darah yang tampak mengkilat di sudut ruangan. Apakah itu darah kekasihnya?

Tangan kirinya meraba-raba dinding, mencari tombol untuk menyalakan lampu. Ternyata listrik rumah itu telah diputuskan. Ia mendengus geram, bertanya-tanya di dalam hati. Di mana kekasihnya sekarang? Apa yang telah monster itu lakukan padanya? Ia tak berani membayangkan bagaimana darah itu keluar melalui tubuh wanita itu.

Saat akan membalikkan badan, sesuatu di atas meja rias menarik perhatiannya. Tampak sebuah tumpukkan kertas yang telah dikoyak menjadi serpihan-serpihan kecil. Pria itu melangkah dengan hati-hati, mencoba melihat lebih dekat.

Secarik potongan kertas yang berukuran lebih besar dari potongan yang lainnya terletak di bagian atas tumpukkan kecil itu. Di sana tertulis sebuah nama.

Trey.

Seolah baru tersadar jika ia melewatkan sesuatu, pria itu terperanjat sendiri.

"Sialan!" Ia berseru, sedikit jengkel karena baru mengingat nama itu. Gambaran sebuah rumah pondok kayu melintas di otaknya yang sedang kalut. Pantas saja ia merasa tak asing dengan nama itu. Ruby pasti berada di sana!

Wanita itu pernah bercerita padanya tentang rumah pondok milik keluarga sahabatnya, Trey. Pondok kayu yang tak lagi dikunjungi oleh keluarga itu adalah tempat favoritnya. Berada di dalam sana bisa membuatnya merasa lebih tenang dan aman.

Tapi tidak jika monster itu juga berada di sana.

Pria itu bergegas berlari ke luar rumah. Meloncat masuk ke dalam mobil dan menginjak pedal gas hingga menimbulkan bunyi decitan yang memilukan pada ban belakangnya. Rumah pondok itu tidak jauh dari sini. Mungkin hanya tiga mil. Tapi setiap menit sangat berarti untuk nyawa kekasihnya itu. Ia melirik jam di dasbor.

Pukul dua pagi.

Tidak butuh waktu lama untuk tiba di sana jika kau sedang menyelamatkan nyawa kekasihmu di saat semua orang sedang terlelap. Tapi pria itu merasa mobilnya hanya berjalan di tempat. Di depan sana, pepohonan yang rimbun mengiringinya dalam gelap, hingga perkarangan milik pondok kayu itu mulai terlihat. Keadaannya sama seperti tempat tinggal kekasihnya.

Gelap.

Jantung pria itu berdebar dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Mobil Ruby ada di sana. Mungkin monster itu sudah mendahuluinya datang ke sini. Dan Ruby..wanita itu..

Ditepisnya perkiraan buruk itu jauh-jauh. Tanpa mematikan mesin mobil, ia bergegas masuk ke dalam pondok kayu itu sambil menendang pintunya dengan keras. Lagi-lagi pintu yang tak terkunci. Ruangan di depannya kosong. Cahaya lampu mobil yang menyorot ke dalam sana membiaskan cahaya ke seisi pondok kecil itu. Memperlihatkan hanya ada satu kamar di dalam sana.

Sesuatu mengalir melalui bagian bawah pintu.

Tanpa perlu melihat dua kali, pria itu yakin jika yang mengalir itu darah. Bukannya getah pohon. Di saat yang sama, pintu yang tertutup itu mengayun terbuka. Tanpa tanda-tanda seseorang akan keluar.

Pria itu berjalan mendekat. Satu-satunya suara yang ia dengar hanyalah detak jantungnya yang berdegup begitu keras. Ragu-ragu, ia mengulurkan tangan kanannya dan mendorong pintu itu agar terbuka lebih lebar lagi. Awalnya ia mengira tidak ada satu orang pun di dalam sana, tapi siluet seorang pria yang bergerak di sudut ruangan membuatnya terlonjak ke belakang.

"Trey?" Ia memanggil dengan suara parau.

Sosok itu tertawa sinis. "Trey sudah mati." Ucapnya dingin.

Suara itu..

Pria itu tahu, sosok yang sedang berdiri di dalam kegelapan itu adalah monster yang mengejar kekasihnya. Dan mungkin telah membunuh wanita itu.

"Kau.." pria itu merasakan amarahnya berkumpul menjadi satu di dalam tenggorokannya, "..di mana Ruby?! Kauapakan dia?!" pekiknya nyaring.

Tubuh sosok itu bergetar karena ia tertawa terbahak-bahak. Sejurus kemudian ia mencoba berbicara meski dengan suara yang bergetar, "kenapa kau bertanya padaku? Bukankah kau itu pacarnya? Dasar pria aneh." Ia tertawa lagi.

Pria itu melihat sekitarnya, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyerang monster itu. Berani-beraninya dia menghina dirinya di saat seperti ini. Setelah ia mengambil Ruby darinya.

Di dekat perapian, sebuah besi yang biasa digunakan untuk membalikkan kayu bakar di dalam sana tergeletak di atas lantai kayu. Pria itu nyaris terjengkang saat mengambilnya dengan tergesa.

"Jika kau tidak ingin aku membenturkan benda ini ke kepalamu, katakan di mana Ruby sekarang."

Sosok itu meludah ke samping. Lalu terkekeh kecil sebelum berkata dengan nada meremehkan, "Kau mengancamku? Huh?"

Pria itu hanya diam. Menunggu jawaban sosok itu dengan napas yang menderu. Bukti jika ia tidak sedang bercanda.

"Mati." Sosok itu berbisik, "dia-sudah-mati." Jelasnya dengan penekanan disetiap kata.

Pria itu menggelengkan kepala. Mengumandangkan kata 'tidak' di dalam hatinya berulang kali. Ruby.. kekasihnya itu telah tiada. Bohong. Itu tidak mungkin. Sosok itu pasti berbohong. Bagaimana bisa? Apa salah wanita itu? Ia memandang sosok itu dengan kebencian yang tidak ditutup-tutupi. Besi pengait di tangannya terangkat. Lalu melayang tepat ke wajah sosok itu hingga tubuhnya terjungkal ke belakang.

Pria itu masih berdiri di sana. Menunggu sosok itu bangkit dari rasa sakitnya dan ia akan menghancurkan kepala sombongnya itu. Sosok itu bergerak-gerak. Lalu berdiri secara perlahan. Tertawa.

"Apa kau mau tahu di mana tubuh wanita itu sekarang?"

Pria itu terdiam di tempat ia berdiri saat sosok itu melangkah ke arahnya dengan lambat.

"Apa kau mau tahu bagaimana wanita itu mati?"

Sosok itu semakin mendekat ke arahnya. Perlahan, cahaya yang temaram mulai
menyinari kakinya, tubuhnya, lengan, lalu naik ke wajahnya.

"Aku meremukkan kepalanya dengan besi itu." Ia berkata datar.

Pria itu merasakan kedua tungkainya melemas.

Sosok yang sedang berdiri di hadapannya saat ini, monster yang dikiranya selama ini..

Adalah dirinya sendiri.

Hanya berjarak satu meter, seakan berdiri di depan cermin, pria itu berusaha mempertahankan kewarasannya.

"Siapa kau?" Tanyanya dengan suara kecil.

Sosok yang menyerupai dirinya itu melipat tangan di depan dada, "mungkin aku saudaramu, putramu, atau diri sendiri. Kita berasal dari jiwa yang sama." Bibir tipisnya membentuk cengiran licik. "Manis bukan?"

Pria itu mundur ke belakang, lalu tersandung kakinya sendiri hingga jatuh terduduk dengan keras. Mulutnya tak dapat berkata-kata lagi. Tapi sorot matanya menyiratkan kebingungan, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

"Astaga, mungkin obat-obatan itu telah membuat kau jadi pelupa, Dell." Sosok itu berkata lagi, "Biar kuperjelas.." ia beranjak ke sisi kanan Dell, duduk menghadapnya dengan kedua kaki yang dilipat.

Pria itu hanya mematung tanpa berani menatap 'kembarannya'.

"Ingat saat kau masuk ke kamar Ruby lima jam yang lalu? Tidak? Payah. Kau telah menemukan surat rahasia dari Trey di atas meja riasnya. Hah, pria yang norak. Lelaki itu bilang dia akan menunggu kekasihmu seperti biasanya di pondok ini, aku heran kenapa wanita itu berani menaruhnya dengan sembarang, lalu kau mengoyak-ngoyakkannya dan bertekad untuk membunuh Trey. Oh, ya, sebelumnya kalian sempat bertengkar di kamar itu karena Ruby lebih memilih membela sahabatnya dibanding kau, dan dia mulai menghubungi adikmu, Charlie, saat kau juga berniat membunuhnya."

"Dia bilang apa ya? Oh! Katanya kau kehilangan kesadaranmu. Aku suka saat melihatnya berlari ketakutan ke pondok ini untuk memberi tahu Trey ketika kau sedang  memporak-porandakan kamarnya, bodohnya pria itu tak percaya, tapi bagus juga, sih, jadi kau bisa membunuhnya dengan mudah. Dan ini bagian yang paling kusuka, wanita itu bersembunyi di sini untuk menghubungi Charlie sekali lagi, kemudian kau datang dan yah, setelah itu kau seperti orang sinting, mondar-mandir di depan sana, lalu pergi entah ke mana, dan.."

Sosok itu terdiam. Melihat wajah kosong Dell, ia kembali tertawa terbahak-bahak. "Lihat wajahmu, Dell! Kau seperti orang gila!" Ia berseru di depan wajah Dell, "Sebenarnya kau memang gila! Ruby yang malang, mau saja mengencani orang aneh seperti kau." Ia kembali menertawakan Dell.

Terdengar sirine mobil polisi dikejauhan, semakin nyaring saat mereka memasuki perkarangan pondok kayu itu. Seorang wanita berlari ke depan mobil Dell, menutupi sebagian cahaya lampu mobil yang menyorot ke dalam pondok dengan bayangan tubuhnya.

"Dell?" Ia memanggil ragu. Bertemankan dua orang petugas polisi—dengan pistol yang teracung ke depan—di kedua sisinya, wanita itu mengintip ke dalam.

Kakak lelakinya itu sedang duduk di atas lantai kayu. Berlumuran darah. Tertawa terbahak-bahak seorang diri ke arah pintu kamar yang terbuka. Di mana dua tubuh kaku yang wajahnya tak dapat dikenali lagi tergeletak di dalam sana.

                                                                    **

Wednesday, 27 May 2015

#FFRabu - Ilusi

Cika melihat orang-orang berjubah putih itu berbaris membentuk sebuah lingkaran. Mereka terus mengayunkan tubuh mereka ke depan, ke belakang, lalu ke samping. Mengikuti setiap alunan gendang dengan mata tertutup. 

Ia terbaring di tengah-tengah lingkaran. Bergemetar. Keringat dingin mulai membanjiri wajah pucatnya.

Ritual itu membuatnya ketakutan.

Lalu, seseorang keluar dari lingkaran itu. Tanpa berkata, ia memasukkan sebutir pil ke dalam mulut Cika. Sesaat kemudian tubuh gadis itu melemas.

Cika mengedarkan pandangannya. Orang-orang itu menyusut. Kembali menjadi boneka dengan berbagai bentuk. Kembali seperti semula. Mengelilinginya di dalam sebuah ruangan bernuansa serba putih.

Gadis itu tersenyum, lalu memejamkan kedua matanya yang terasa berat.


Wednesday, 22 April 2015

#FFRabu - Di balik Lukisan

"C'est ennuyeux. Membosankan. Setiap hari hanya menyaksikan puncak lingga setinggi seribu kaki itu lewat jendela ini." Wanita itu mengeluh. "Aku lelah harus mengawasi mereka setiap hari."

"Yah, aku juga bosan, La Belle Ferronniere. Setiap hari hanya mendengarkan kau mengeluh, termasuk Mona Lisa, Venus de Milo, dan Winged Victory." Pria yang satunya berkata. "Museum Louvre ini sepertinya kurang besar bagimu."

Wanita itu merengut, "Sesekali kita harus bersantai di taman tuileries, melihat bunga-bunga tulip yang bermekaran. Oh, betapa menyenangkan bisa sebebas itu."

Lawan bicaranya hanya tertawa. Sampai kapan pun mereka akan tetap terperangkap di balik kaca berbingkai ini. Abadi di atas kanvas.


Wednesday, 15 April 2015

#FFRabu - Saddy

"Apa Saddy akan baik-baik saja? Aku ingin melihatnya berlari lincah seperti dulu."

Emma hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan gadis kecil itu. Anjing kesayangannya sudah sembuh. Meski ia merasa sedih melihat Saddy tak bisa kembali berjalan karena luka itu.

"Bagaimana dengan orang yang telah menendang dan memukulnya? Apa kau telah memarahinya?"

Emma tertawa kecil dan berkata, "Tidak baik membalas kejahatan orang lain. Lagi pula, aku tak pernah melihatnya lagi."

Gadis kecil itu mengerutkan kedua alisnya, "Apa mungkin ia kabur?"

"Entah lah, Roul." Jawabnya sambil tersenyum

Emma kembali menatap Saddy. Anjing itu tampak kekenyangan jika dilihat dari tumpukan tulang belulang yang disembunyikannya.

Wednesday, 8 April 2015

Guardian Angel

I'll be there for you through it all, even if saving you sends me to heaven.

Bintang menyelesaikan lirik lagu terakhirnya. Karena dia, aku jadi jatuh cinta dengan lagu ini. Angin yang tak henti-hentinya bertiup di pesisir pantai membuat rambutku acak-acakan. Ia meletakkan gitarnya di atas pangkuan. Matanya menatapku dengan sorot geli.

"Apa?" tanyaku penasaran. Sesekali melirik ke belakang untuk memastikan ia memang menatapku.

"Kamu mirip sadako." Ia tertawa mengejek. Lalu dengan lembut mengacak-acak rambutku. Itu sebuah pujian yang menyenangkan, terdengar tak wajar tapi aku tetap menyukainya karena ia memiliki selera yang sama denganku. Aku balas mengacak rambutnya yang mulai panjang.

Lalu terdengar gemuruh petir di ujung sana, di garis batas antara laut dan langit. Beberapa saat kemudian hujan turun begitu deras. Kami segera berlari ke bawah pondok yang di bangun di sepanjang pesisir pantai untuk berteduh. Bintang kembali membungkus gitarnya dengan cepat. Aku sedikit iri melihat ia memperlakukan benda itu lebih istemewa dariku. Tepat di saat angin yang begitu dingin bertiup kencang, rinai hujan menyusup ke bawah atap pondok dan membasahi kami. 
Ia mengajakku kembali ke dalam mobil di parkiran yang berada beberapa meter dari sini. 

Aku merasa enggan, sampai ia membuka kaos polosnya untuk dijadikan sebuah pelindung bagiku. Aku segera berlari menembus hujan, bersama ia yang bertelanjang dada. Diam-diam aku mengumpat betapa luasnya tempat ini. Lewat tangannya yang merangkul bahuku, aku tahu ia kedinginan. Dan aku merasa bersalah.

Sampai di dalam mobil, aku segera mengeluarkan handuk yang memang aku siapkan di dalam tas untuknya. Ia langsung membungkus tubuhnya yang menggigil rapat-rapat. Lalu menatapku dengan wajah yang memucat dan bibir yang gemetar.

"Maaf, ya." Bisikku pelan. Ia tertawa kecil, menggenggam kedua tanganku di dalam tangannya yang terasa sedingin es.

"Biar aku aja yang demam," Ucapnya dengan nada bercanda, aku memaksakan seulas senyum saat mendengarnya karena masih merasa bersalah. "Kalau kamu yang demam pasti cerewet kayak emak-emak."

Meskipun tidak terima dengan perkataannya, di saat yang sama aku merasa tersanjung. Toh, aku juga tertawa. Dan kami kembali saling mengejek dengan jemari yang saling bertaut. 

Notes:
Karena hujan itu, liburan di pantai jadi lebih menyenangkan meskipun akhirnya kamu demam beneran. R, you're my macaroni for my cheese. :D

Back To July

Yakin aja, kamu bisa, kok. Tadi itu udah bagus.

Itu kalimat yang telah diucapkannya berkali-kali untuk menghiburku. Apa sih yang membuat mereka yakin kalau aku layak bergabung dalam tim paskibra tahun ini? Sialan si Heny, bisa-bisanya dia mengundurkan diri di saat hari kemerdekaan tinggal dua minggu lagi, lalu seenak hatinya menjadikan aku sebagai penggantinya.

Aku mencoba membalas senyum kak Mika yang telah berbaik hati mau menjadi pelatihku sejak hari pertama bergabung. Meskipun aku masih merasa kesal dengan temannya, kak Nero si ketua osis yang kerjaannya hanya menertawakan kesalahan yang aku lakukan dalam setiap gerakan. Sekarang kak Mika malah ikut-ikutan tertawa karena melihatnya.

Jujur saja, ditertawakan karena kesalahan itu tidak enak. Diliputi perasaan kesal, aku beranjak menuju kursi panjang di tepi halaman, lalu duduk di salah satu ujungnya. Saat menunduk entah mengapa kepalaku terasa berputar, disusul rasa mual yang bergolak di dalam perutku. Ternyata kak Mika memperhatikan, ia melangkah mendekatiku.

Sebelumnya, seorang gadis yang tak kukenal memanggil kak Mika untuk duduk bersamanya di sisi lain lapangan. Tapi cowok itu hanya tersenyum lalu duduk di sampingku. Berikutnya aku mendapatkan tatapan tidak sedang dari para gadis di lapangan ini. Tentu saja karena kak Mika adalah salah satu prince charming di sekolah.

"Maaf ya, tadi kakak cuma becanda." ia menatap wajahku dengan senyum berlesung pipinya, aku hanya mengangguk kecil. "Muka kamu agak pucat, mau aku anterin ke UKS?" ia bertanya sambil menyentuh bahuku dengan hati-hati, nada suaranya terdengar khawatir. Aku hanya menggeleng kecil.

"Nanti aku anterin pulang, yah?" tawarnya lagi setelah mengambilkan sebotol air putih untukku.

"Ciee..Mika lagi pdkt!" seru kak Nero dari tengah lapangan. Suaranya yang lantang itu berhasil menarik perhatian murid lain yang sedang latihan. "Dit! Si Mika itu naksir kamu, kemarin dia cerita sama aku."

Aku menatapnya tak percaya. Kak Mika langsung salah tingkah, ia tampak begitu gugup, meski ia berusaha keras untuk menutupinya. Sekarang aku mengerti kenapa ia selalu berada di dekatku. Kenapa ia selalu membuatku tertawa saat aku mulai putus asa dengan kemampuan paskibraku yang sama sekali nol. Ternyata semua karena itu.



Notes:
Ada dua orang yang telah berjasa di sini, pertama Heny. Kalau bukan karena kamu ngundurin diri, aku gak bakal sedekat itu dengan Mika. Mengingat saat itu dia kelas tiga, yang mulai sibuk dengan urusan negara. Thank's ya :)
Kedua kak Nero, kamu beruntung kak, karena aku masih bisa nahan hasrat untuk ngelempar sepatu aku ke wajah kakak. Tapi karena mulut kakak yang agak ember itu, aku jadi tahu rahasia kecil Mika :P
Dan Mika, hmm..mungkin kamu gak akan baca tulisan ini. Tapi aku masih ingat saat kita berbagi kentang goreng sepulang sekolah. Saat kamu nyanyiin lagu itu di acara pensi sekolah. Saat kamu ngucapin kata itu. Maaf karena dulu aku pernah ngecewain kamu. Di atas segala penyesalan yang tak sempat terucap, thank's buat saat-saat itu, meskipun kamu sekedar numpang lewat dikehidupan aku.

Maybe this is wishful thinking
Probably mindless dreaming
Standing in front of you, saying i'm sorry for that night.
(Back to December - Taylor Swift)


Tuesday, 7 April 2015

The Black Dahlia Murder - Kisah pembunuhan Elizabeth Short

(Sumber : xfile-enigma.blogspot.com)
 Dalam sejarah Los Angeles, ada satu pembunuhan yang menarik perhatian begitu luas. Bahkan setelah 60 tahun berlalu, kasus ini secara resmi dianggap sebagai tidak terpecahkan. Korbannya cuma satu orang, namun karakteristik pembunuhan ini begitu keji sehingga kasus ini mendapat tempat khusus di media. Kasus ini disebut pembunuhan Black Dahlia.



Mayat terpotong di lahan kosong
15 Januari 1947, Betty Bersinger berjalan keluar dari rumahnya di Los Angeles sambil membawa anak perempuannya yang masih berusia 3 tahun menuju sebuah toko sepatu. Ketika sampai di Leimert Park di dekat sudut Norton 39th, Betty dan putrinya melewati beberapa bidang lahan kosong yang ditumbuhi semak-semak.

Tidak berapa lama kemudian, mata Betty terpaku pada sesuatu berwarna putih di dekat semak-semak. Benda itu terlihat seperti sebuah manekin dari departemen store yang telah terpotong dua. Dipenuhi rasa ingin tahu, Betty mendekati objek itu. Sesaat kemudian, ia terkesiap menyaksikan apa yang disangkanya manekin ternyata mayat seorang wanita berkulit putih yang telah terpotong dua.

Polisi segera dihubungi dan beberapa waktu kemudian, dua orang polisi bernama Frank Perkins dan Will Fitzgerald tiba di lokasi.

Kondisi Mayat

 Mayat wanita itu terbaring telentang dengan lengan yang terangkat di atas bahunya. Kedua kakinya terbuka lebar dalam pose yang vulgar. Luka robek dan lecet memenuhi seluruh tubuhnya. Mulutnya disobek sehingga senyumnya melebar dari telinga satu ke telinga yang lain. Pada pergelangan tangan, pergelangan kaki dan lehernya, terlihat adanya bekas jeratan tali sehingga para penyelidik menyimpulkan kalau ia telah diikat dan disiksa selama beberapa hari.

Namun, apa yang paling mengerikan dari mayat ini adalah kenyataan kalau tubuhnya telah disembelih dengan rapi di atas pinggang sehingga terbelah dua.

Polisi menyimpulkan kalau ia telah dibunuh di suatu tempat dan mayatnya dibuang ke tempat itu pada malam hari. Ini terlihat dari tidak adanya darah pada tanah dan mayat itu. Sang pembunuh mungkin telah membersihkan mayat itu sebelum dibuang ke tanah kosong.

Kasus mutilasi mengerikan ini dengan segera menjadi prioritas utama kepolisian Los Angeles (LAPD) yang kemudian menugaskan detektif Harry Hansen dan partnernya Finis Brown untuk segera menyelidiki kasus itu.

Ketika kedua detektif itu tiba di lokasi, mereka menemukan tempat kejadian perkara telah dipenuhi oleh pejalan kaki dan reporter yang meliput. Hansen segera membubarkan massa untuk mengamankan barang bukti yang mungkin tercecer di tempat itu.

Tetapi, di lokasi itu, mereka tidak menemukan adanya senjata pembunuh ataupun jejak kaki.


Situasi Leimert Park ketika mayat ditemukan

Setelah selesai diperiksa di tempat, mayat wanita itu segera dibawa ke kamar mayat. Sidik jarinya dikirim ke kantor FBI di Washington untuk diidentifikasi. Sementara menunggu hasil pemeriksaan FBI, petugas otopsi memeriksa mayat itu dan mereka kembali menemukan beberapa detail mengerikan lainnya.

Pada mayat itu ditemukan banyak cabikan di wajah, kepala dan tubuhnya. Lalu, terlihat adanya tanda-tanda sodomi dan pemerkosaan walaupun tidak ditemukan adanya sperma di dalam tubuhnya.

Begitu mengerikannya kondisi mayat ini sehingga bahkan dokter dan detektif yang paling tabah sekalipun dibuat syok olehnya.

Tidak berapa lama kemudian, hasil pemeriksaan FBI terhadap sidik jari mayat itu tiba di kantor LAPD. Perempuan yang dibunuh itu ternyata bernama Elizabeth Short, 22 tahun, yang berasal dari Massachusetts.

Setelah identitas korban diketahui, para detektif segera mengerahkan upayanya untuk menggali informasi mengenai perempuan ini supaya dapat menemukan petunjuk yang mungkin bisa mengarah kepada sang pembunuh.

Namun, mereka tidak menyangka kalau apa yang akan ditemukan berikutnya ternyata malah menjadi teka-teki yang membingungkan.

Siapa Elizabeth Short
Elizabeth Short lahir tanggal 29 Juli 1924 di Hydepark, Massachusetts. Beth yang masih muda kemudian pindah ke Hollywod untuk mengejar karir di bidang perfilman.

Ia dikenal sebagai perempuan yang gampang bergaul dan memiliki banyak kenalan. Wajahnya yang cantik membuatnya sering menarik perhatian para pria, bahkan di Holywood sekalipun dimana kecantikan adalah hal yang biasa.

Di Hollywood, Beth mulai berkenalan dengan banyak orang dari kalangan sosialita kelas atas. Salah satu pria yang kemudian menjadi teman baiknya adalahMark hansen, seorang pemilik klub malam dan teater.

Hansen lalu mengajak Beth pindah ke rumahnya bersama sejumlah artis lainnya. Kadang para artis ini menjadi penghibur bagi tamu-tamu yang datang ke klub Hansen. Dengan segera, Beth menjadi bagian yang tetap dalam kelompok Hansen. Kondisi ini cukup menguntungkan baginya karena karirnya di film tidak berkembang.

Pada masa itu, film "The Blue Dahlia" yang diperankan Veronica Lake dan Alan Ladd beredar di masyarakat. Beberapa teman Beth mulai memanggilnya dengan sebutan Black Dahlia karena rambut hitamnya kesukaannya mengenakan pakaian hitam.

Siapa yang membunuh Beth?
Setelah kasus pembunuhan Beth tersebar luas di media, ada sekitar 60 pria dan wanita maju ke publik dan mengaku sebagai pembunuh sebenarnya. Namun, pengakuan-pengakuan ini tidak disertai oleh bukti yang bisa diverifikasi oleh pihak kepolisian sehingga semua pengakuan ini dianggap hanya sebagai usaha mencari sensasi.

Pada masa itu, kasus pembunuhan Black Dahlia adalah kasus penyelidikan kriminal terbesar yang pernah dilakukan LAPD sejak kasus pembunuhan Marion Parker yang terjadi pada tahun 1927. Karena besarnya skala penyelidikan ini, LAPD mendapatkan bantuan ratusan petugas dari badan lainnya.

Beberapa hari setelah penemuan mayat mayat Beth, polisi mendapatkan sebuah paket misterius yang mungkin berasal dari sang pembunuh sendiri.

Paket itu tiba di kantor harian Los Angeles Examiner yang segera diteruskan ke polisi. Di dalamnya ditemukan sebuah catatan yang terbuat dari guntingan-guntingan koran yang bertuliskan "Ini adalah barang-barang kepunyaan Dahlia...surat akan menyusul".


Di dalam kotak itu juga ditemukan kartu jaminan sosial kepunyaan Beth, akte kelahiran, foto Beth dengan rekan-rekannya, kartu nama dan nota klaim untuk koper yang tertinggal di depot bus. Barang lain yang cukup menarik adalah buku alamat milik Mark hansen yang beberapa halamannya telah hilang.

Polisi mencoba untuk mencari sidik jari dari kotak dan barang-barang yang ada di dalamnya, namun ternyata semua barang tersebut telah dicuci dengan minyak tanah untuk membersihkannya dari sidik jari.

Para detektif lalu memulai tugas berat untuk menyelidiki semua nama yang ada di buku alamat Hansen. Surat menyusul yang dijanjikan sang pembunuh memang tiba, namun tanpa petunjuk yang berarti.

Karena kompleksnya kasus ini, para detektif memulai penyelidikan ini dengan menganggap setiap orang yang mengenal Beth sebagai tersangka pembunuhan. Ratusan orang masuk ke dalam daftar tersangka dan ribuan orang diwawancarai untuk mencari petunjuk yang bisa mengarah kepada pembunuh sadis itu.

Jika melihat kondisi mayat yang mengerikan, ada dua kemungkinan mengenai sang pembunuh.

Pertama, sang pembunuh adalah orang yang mengenal Beth dan mungkin telah membunuhnya karena dendam. Memang, pada kasus pembunuhan dimana mayat korban dirusak dengan kejam, pada umumnya, pelakunya memang orang yang mengenal korban.

Karena itu, orang-orang yang mengenal Beth seperti Mark Hansen diperiksa satu persatu. Namun, mereka tidak menemukan bukti yang bisa mengarah kepada pelaku pembunuhan.

Sedangkan kemungkinan kedua adalah pembunuh berantai. Teori pembunuh berantai memang teori yang paling populer dan dalam 60 tahun terakhir ini, beberapa peneliti independen telah mencoba melakukan penyelidikannya sendiri dan menghasilkan beberapa kesimpulan yang cukup kuat.

Selama 60 tahun terakhir ini, paling tidak ada 24 tersangka yang dianggap paling mungkin melakukan pembunuhan Black Dahlia, namun, saya hanya akan membahas beberapa nama yang paling populer.

Cleveland Torso MurderPada tahun 1930an, sebelum pembunuhan Beth, ada seorang pembunuh berantai yang meneror Cleveland. Pembunuh itu dikenal dengan julukan "Mad Butcher of Kingsbury Run". Julukan terhadap kasusnya adalah "Cleveland Torso Killer". Julukan ini didapatkan karena seluruh korban dimutilasi dengan sayatan yang rapi, persis seperti Beth.

Kasus pembunuhan ini ditangani langsung oleh Elliot Ness yang legendaris. Ness dikenal sebagai aparat yang berhasil menangkap dan memenjarakan mafia kelas kakap Al Capone.

Walaupun ditangani secara langsung oleh Ness, kasus pembunuhan Cleveland tetap tidak bisa dipecahkan. Jadi, wajar jika banyak orang percaya kalau pelaku pembunuhan dalam kedua kasus ini dilakukan oleh orang yang sama.

Mungkinkah pembunuh dari Cleveland itu pindah ke California dan membunuh Beth?

George Knowlton
Pada tahun 1995, seorang penulis bernama Janice Knowlton menerbitkan sebuah buku yang berjudul "Daddy was the Black Dahlia Killer".

Dalam bukunya, ia memiliki teori kalau ayahnya yang bernama George Knowltonadalah sang pembunuh Black Dahlia. Namun, para penyelidik menolak teorinya karena mereka menganggap Janice hanya mengeluarkan teorinya berdasarkan ingatan yang depresi, mengingat ayahnya suka menganiayanya secara seksual sejak kecil.

George Hodel
Selain Janice Knowlton, ada satu orang lagi yang juga menulis buku yang menuduh ayahnya sebagai Black Dahlia Killer. Ia adalah Steve Hodel, seorang detektif bagian pembunuhan di LAPD.

Buku yang ditulisnya berjudul "Black Dahlia Avenger" dan terbit tahun 2003. Di dalamnya ia menuduh sang ayah,Dr.George Hodel, yang juga seorang ahli bedah, sebagai pembunuh Black Dahlia.

"Apa yang saya mengejutkan saya adalah adanya kemungkinan kalau pembunuhnya adalah seorang dokter bedah." Kata Steve."Bukan sekedar pemotong daging, bukan tukang jagal hewan, melainkan seorang ahli bedah yang terampil."

Dr. Mark Wallack, seorang ahli bedah di Rumah sakit St Vincent di New York, yang melihat foto kondisi mayat Beth sebelum dan sesudah otopsi, juga percaya dengan pendapat Steve.

"Ketrampilan seperti ini hanya bisa dimiliki oleh mereka yang memiliki pengalaman dalam pembedahan." Kata Wallack. Ia juga percaya kalau pembunuhnya adalah seorang dokter.

Selain itu, Steve juga menemukan kalau ayahnya ternyata pengidap kelainan seksualSadistic misogynist yang telah melakukan hubungan incest dengan anaknya sendiri, Tamar, saudara tiri Steve.

Steve juga percaya kalau beberapa kasus pembunuhan yang tidak terpecahkan lainnya mungkin dilakukan oleh ayahnya, seperti "Red Lipstick Murder", yaitu pembunuhan terhadap Jeanne French yang mayatnya ditemukan satu bulan setelah Beth dengan huruf BD tertulis dengan lipstik merah di tubuhnya. Mayat French juga ditemukan di lahan kosong.

Namun, mungkin yang paling luar biasa adalah teori Steve kalau ayahnya juga adalah Zodiac Killer yang legendaris. Zodiac Killer adalah pembunuh berantai yang beroperasi di California pada tahun 1960an. Jumlah korbannya yang bisa diverifikasi adalah 7 orang, walaupun Zodiac sendiri mengaku telah membunuh 37 orang. Kasus Zodiac juga termasuk ke dalam kategori Tidak Terpecahkan.

Teori Steve ini cukup luar biasa, tetapi sepertinya ia punya dasar yang cukup kuat. Foto George Hodel ternyata sangat mirip dengan sketsa wajah Zodiac Killer yang dirilis oleh pihak kepolisian pada tahun 1960an.

Teori Hodel belum mendapat pengakuan dari LAPD dan bahkan dianggap mengada-ngada oleh banyak pihak. Walaupun begitu, teorinya cukup mendapat banyak apresiasi dari berbagai pihak, seperti deputi jaksa wilayah, Steve Kay, dan penulis buku mengenai Black Dahlia bernama James Ellroy.Jika pembunuh Black Dahlia, Red Lipstick Murder dan Zodiac Killer ternyata orang yang sama, maka bukan tidak mungkin kalau pengakuan Zodiac mengenai jumlah korbannya benar adanya.

Arnold Smith
Pada tahun 1981, puluhan tahun setelah pembunuhan itu terjadi, ada satu petunjuk penting mengenai kasus ini muncul ke permukaan. Waktu itu, seorang detektif LAPD bernama John St.John menerima informasi mengenai kasus Black Dahlia dari seorang informan.

St.John dikenal sebagai detektif hebat yang telah menangani banyak kasus pembunuhan. Bahkan kisah hidupnya telah menjadi inspirasi bagi buku dan film seri di televisi.

Suatu hari, seorang informan datang kepadanya dan memberikan sebuah rekaman pengakuan dari seseorang yang bisa jadi sang pembunuh Black Dahlia sendiri. Pria di dalam rekaman itu juga menunjukkan kepada sang informan beberapa foto dan barang-barang pribadi yang diklaimnya sebagai milik Beth.

Pria itu bernama Arnold Smith. Dalam rekaman itu, Smith mengklaim kalau rekannya yang bernama Al Morrison yang juga seorang pelaku kejahatan seksual telah membunuh dan memutilasi Beth.

Arnold Smith

St.John percaya kalau Arnold Smith dan Al Morrison adalah pria yang sama.

Selain pengakuan, rekaman itu juga menceritakan detail bagaimana Beth dibunuh. Smith bercerita kalau Beth datang ke kamar Al Morrison di Hollywood karena ia tidak punya tempat untuk menginap. Morrison lalu membawa Beth ke sebuah rumah di East 31st dekat San pedro dan mengajaknya berhubungan seks yang kemudian ditolak oleh Beth.

Morrison menjadi marah dan menganiaya Beth yang kemudian berujung pada pembunuhan dan mutilasi terhadap Beth.

Informasi ini bocor ke pers. Media dihebohkan dengan kemungkinan adanya tersangka baru dalam kasus Black Dahlia. Akibatnya, Arnold Smith malah menghilang dan tidak bisa dihubungi, mungkin karena ketakutan. Informan St.John tidak mengetahui dimana ia tinggal, namun ia meninggalkan beberapa pesan untuk Smith supaya bisa bertemu. Akhirnya pesan itu dibalas dan Smith bersedia bertemu.

Namun, pertemuan yang mungkin bisa menjadi kunci pemecahan kasus itu tidak pernah terjadi.

Beberapa hari sebelum pertemuan itu, Smith ditemukan tewas dengan kondisi mengerikan di atas tempat tidurnya di Holland Hotel. Smith diduga merokok ketika ia tertidur sehingga tubuhnya terbakar habis bersama tempat tidurnya dan dokumen-dokumen lainnya yang diduga milik Beth.

Kematian Smith memang agak mencurigakan, namun polisi tidak menemukan bukti adanya kejahatan di dalam peristiwa itu. Misteri di dalam misteri.

Dengan kematian Smith, salah satu kunci yang mungkin bisa memecahkan misteri Black Dahlia lenyap untuk selama-lamanya.

Mungkinkah Arnold Smith pembunuh Black Dahlia yang sesungguhnya?

Sayang kita tidak bisa mengetahuinya.

Walaupun banyak petunjuk dan teori baru bermunculan, setelah lebih dari 60 tahun, pihak LAPD masih mengkategorikan kasus ini sebagai "Unsolved - tidak terpecahkan". Namun, kasus ini masih menarik perhatian para peneliti independen. Mungkin dalam tahun-tahun berikutnya, kita akan mendengar teori-teori baru lainnya.

(wikipediabethshort.comcbsnews.com,latimes.com)

Sunday, 25 January 2015

Gabe

             



               Dalam gemetar, Gabe bersembunyi di bawah kolong meja. Meringkuk memeluk erat kedua lututnya di depan dada. Berusaha menahan napas sepelan mungkin. Bila perlu berhenti bernafas. Membayangkan pisau di tangan pria itu akan menggorok lehernya sebentar lagi.
             Ia melihat jasad seorang wanita terkapar di bawah kakinya. Diantara semak mawar. Dengan leher yang nyaris putus. Dan ia melihatnya, bersamaan dengan pria itu melihat dirinya. Seorang bocah lelaki dengan lollipop ditangan. Berdiri tak jauh dari tempat pria itu menggeram, bersiap menikam nyawa tak bersalah itu. Lalu dirinya.
               Gabe memandang dengan tatapan memohon. Berharap sesuatu datang menunda kematiannnya. Pria itu menghentikan langkahnya. Mendengus di bawah sinar lampu kekuningan yang meredup. Gabe menyambar tangan bocah lelaki itu secepat cahaya padam. Berlari memutar arah.
            Hampir menabrak pintu masuk ke sebuah ruangan, mereka menghentikan langkah. Gabe melihat sekitarnya, mencoba menyesuaikan pandangan dalam temaram. Tidak ada tanda-tanda pria itu mengejar mereka. Mungkin ia akan mucul secara tiba-tiba di depan wajahnya.
            “Di mana keluargamu?” Gabe bertanya dengan nafas tersengal. Tubuhnya terasa panas dan dingin disaat yang sama. Ia kembali menoleh ke belakang. Lalu kembali menatapnya.
           Bocah lelaki itu menunjuk ke arah tempat mereka berada sebelumnya. Gabe terdiam sejenak. Mencoba memahami.
            “Keluargamu berada di sekitar tempat tadi? Kalau begitu kita harus mencari jalan lain untuk kembali ke sana.”
             Gabe menarik dan menghembuskan nafas berulang-ulang. Metode penenang darurat jika sedang panik. Sebuah sentakan halus menarik tangannya.
            “Ada apa?” Gabe menoleh pada bocah lelaki itu
              Ia menggeleng sesaat, berbicara dengan suara pelan nyaris berbisik “Dia ayahku.”
            “Apa?!” Gabe memekik, lalu tersadar ia sedang berbicara dengan anak kecil. “Oh, maaf sayang. Apa kau juga melihat wanita itu?” Gabe bertanya dengan nada khawatir, cemas dengan apa yang telah disaksikan anak ini.
             “Ibu.”
             Gabe terkejut. Ia memeluk tubuh kecil anak itu, mengusap rambut pendeknya dengan lembut. “Siapa namamu?”
             “Edward.”
             “Aku Gabe. Aku akan menyelamatkanmu, Edward.”
             Mereka kembali berlari. Melewati lorong remang-remang dengan tergesa. Bunyi derap langkah yang bertubi-tubi menggema di belakang mereka. Gabe berteriak minta tolong. Pria itu akan mendengarnya.
         Kemana semua orang di apartemen ini? Seperti menghilang begitu saja terbawa angin. Mereka memasuki lorong lain. Jejeran bunga peony liar menggantung di langit-langit. Setiap kelopaknya mengejek Gabe.
             Seseorang muncul di balik sebuah pintu yang setengah terbuka di depannya. Wanita bertudung hitam berjalan kearah meraka. Gabe berteriak memanggilnya.
          “Hei! Nyonya! Tolong! Ada orang gila yang ingin membunuh kami di sana!” Gabe menunjuk lorong yang baru saja dilewatinya.
         Wanita itu hanya menunduk. Meneruskan langkahnya seolah Gabe dan bocah kecil itu tak pernah melintas di depannya. Mengabaikan setiap teriakan panik ketakutan Gabe.
        “Apa kau tuli? Jangan berjalan ke sana!” Gabe mulai mengamuk. Punggung wanita bertudung itu menghilang di ujung lorong. Edward menarik-narik tangan Gabe. Mengajaknya berlari ke tempat yang lebih aman.
           Belum tapak sepatunya meninggalkan lantai, suara langkah yang terseret menggema di tempat wanita bertudung itu menghilang. Semakin mendakati Gabe dan Edward. Cahaya remang berganti kegelapan.
           Suara langkah terseret itu lenyap. Bersamaan udara di sekitar mereka, tercium aroma gas bocor. Gabe terseret sesuatu.
        “Edward! Lari!” Gabe mencakar-cakar lantai. Berusaha meraih sesuatu untuk menghentikan tangan kasar yang menyeretnya. Lampu menyala redup. Samar-samar ia melihat Edward pergi dengan wajah ketakutan.
            Pria itu akan membakar tempat ini. Gabe harus melepaskan dirinya atau ia akan mati di tempat ini. Lalu melupakan janjinya untuk menyelamatkan Edward.
           “Aargh!” Gabe mengerang. Menendangkan kakinya dengan liar
            Pria itu terjatuh, lalu kembali berdiri secepat jatuhnya. Buru-buru Gabe berdiri menjauhinya. Mereka berhenti di tangga.
“Mau berlari lagi, Nona?”
Tangan kanannya merogoh pisau di balik jaket tebalnya. Gabe tersesak panik. Pria itu meraih tangan Gabe. Bersiap menghujamnya dengan beberapa tusukan. Mereka saling mendorong. Posisi Gabe yang lebih tinggi dari pria itu membuatnya lebih kuat dalam tekanan. Gabe berusaha memutar arah mata pisau kembali ke pria itu.
“Jangan halangi aku!” Pria itu berteriak kasar
Sayup-sayup, terdengar suara Edward yang ketakutan. Memanggil-manggil nama Gabe. Gadis itu mengerahkan seluruh tenaganya. Kekuatan yang entah dari mana asalnya, membatu Gabe menghujamkan mata pisau di dada pria itu. Darah memuncrat ke leher dan dagunya. Pria itu ambruk.
Gabe berusaha melepaskan genggaman pria itu dari tangannya. Ia memukul-mukul dengan kasar.
“Dia bukan anakku!” Ia terbatuk, memuntahkan darah segar dari mulutnya.
“Kau gila! Kau sudah membunuh istrimu dan sekarang kau akan membunuh anakmu! Dan juga aku! Lepaskan!” Gabe meronta.
“Dia yang membunuh istriku! Aku melihatnya sendiri!” ia kembali berteriak, menangis. Gabe terdiam. Pria ini sedang membual.
“Dia bukan lah seorang bocah kecil tak berdosa seperti yang kau lihat!” Pria itu mengerang kesakitan, genggaman tangannya melonggar. “Istriku baru mengetahui ia mengidap penyakit yang membuat tubuhnya berhenti berkembang secara fisik, ia pria dewasa, ia bukan manusia!”
Kali ini Gabe benar-benar terdiam. Berusaha tak memercayai apa yang dikatakan pria ini. Tidak mungkin.
“Kau harus lari, sebelum ia meledakan tem..”
Edward berdiri di atas tubuh pria itu. Menginjak pisau yang menancap di dadanya. Hingga melesak tembus ke balik punggungnya. Gabe tersentak ke belakang. Berusaha berlari meski terpeleset beberapa kali. Edward masih berdiri di belakangnya, di atas mayat pria itu.
Bukannya berlari ke luar gedung ini, Gabe masuk ke sebuah ruangan di ujung lorong terakhir. Ia mengunci pintu dengan asal. Berlari ke bawah meja, bersembunyi di sana dari Edward. Tapi ia ada di sana. Dengan darah  yang menetes di bibir penuhnya. Gabe akan mati, titik.
                                                                 ***
Sebuah ledakan warna membutakan mata Gabe. Kulitnya tidak terasa panas ataupun perih. Bahkan hangat pun tidak. Perlahan ia mengintip dari balik bulu matanya. Ia masih di bawah meja yang sama. Hanya saja Edward tak lagi di sana. Seluruh ruangan berubah putih bersih. Mungkin ia telah mati.
Seorang wanita berseragam serba putih membuka pintu. Kedua tangannya membawa sebuah nampan berisi segelas air putih, dan sebuah botol kecil dengan tulisan Zyprexa pada labelnya. Ia mengajak Gabe keluar dari tempat persembunyiannya yang aman. Saat Gabe melangkah, ia melihat ke pintu yang menganga lebar.
Edward sedang berdiri di sana. Menatapnya.
“Apa kau akan menyelamatkanku?”
                                                                 ***

           
           


Wednesday, 14 January 2015

#FFRabu - Lou

"Kau harus berhati-hati, sudah tujuh orang yang menghilang. Jangan jadikan dirimu yang kedelapan." Kata-kata pria misterius itu masih menancap dibenak Lou. Ia sedang berada di dalam lift seorang diri. Lalu terdengar suara seseorang tertawa di belakangnya. Jantungnya mengejut. Seluruh darahnya terasa berdesir.
               
"Kau tak bisa lari dariku." Suara dingin dan tinggi itu berbisik mengancam.
               
Bagaimana pria itu bisa di sini? Bersamanya? Ia tak berani bergerak.
             
"Jangan ganggu aku! Pergi!"

Pria itu tertawa. Tawa licik yang jahat. Tawa yang sama ketika ia menyusup ke ruang kerjanya.
             
"Sudah terlambat. Seseorang akan datang." Ia menyeringai.
       
Tepat di saat pintu lift terbuka, seorang wanita anggun menatap Lou, sedang berbicara pada bayangannya sendiri. Tersenyum.

Sunday, 11 January 2015

Remember you

                “Ada teori?” Jim bertanya padaku. Kepulan uap dingin terus berhembus dari mulutnya. Kami sedang berjalan di atas dermaga, menuju ke sebuah pesiar megah. Beberapa gadis dengan penutup telinga berbulu lembut berdiri di sekitar kapal. Cukup banyak orang yang berkeliaran di seluruh bagian kapal.
           Aku berusaha menyimak kata-kata Jim barusan, rasanya sukar untuk berkonsentrasi. “Tidak, aku menyerah.” Ucapku dengan tegas. Tiupan liar angin laut terasa meredam suara hingga aku harus sedikit berteriak pada Jim. Ia tersenyum, lalu menyelipkan kembali helaian rambutku  yang mencuat dari balik topi wol hitam yang hangat. Rasanya sedikit menyenangkan. Seperti aku pernah melewati saat seperti ini, ada hal yang akrab di balik senyumnya. Entah apa itu.
    Kami menaiki tangga menuju bagian geladak kapal yang sepi. Aku masih belum tahu tujuan kapal ini. Aku juga tak tahu apa tujuanku ke sini bersama orang yang beberapa waktu ini mengaku mengenalku sebagai temannya. Rasa ingin tahu terus menggelitikku.
             Langit kota Fort Bragg masih belum berubah. Mendung seperti semalam. Hanya saja, cahaya matahari yang berpendar di dalam awan kelabu membuatnya sedikit lebih cerah. Jim meninggalkanku sebentar untuk mengambil minuman. Sementara itu, udara asin lautan merasuki tubuhku dalam tiupan sejuk. Samar-samar aroma amis ikut terbawa di dalamnya. Sebuah sentakan halus menyadarkanku kapal ini baru saja berjalan meninggalkan dermaga. Aku melirik ke bawah permukaan air. Kira-kira sembilan meter dari tempatku berdiri. Aku menimbang-nimbang bagaimana rasanya jatuh dari ketinggian seperti ini.
                       “Pria yang duduk di bar itu parah!” Jim berseru setiba di sampingku. Ia mebawa dua gelas coke dan menyerahkan salah satunya untukku. Lihat siapa yang mau berbagi.
                     “Trims, Jim. Jadi, apa dia muntah?” aku menyesap minumanku. Tegukan pertama terasa menyengat ditenggorokan.
                     Jim melemparkan mimik ngeri, membuatnya tampak lucu. “Tidak, dia hanya menumpahkan minumannya sendiri lalu menyalahkanku yang berdiri di sebelahnya, sangat masuk akal.”
              “Terlalu pagi untuk mabuk,” ucapku, kami tertawa kecil. Seharusnya aku merasa canggung. Pergi ke tempat antah berantah bersama Jim. Tapi ia membuatku merasa nyaman. Seperti, kemana saja asal bersamamu! Kurasa aku mulai gila. 
             Seorang pria gemuk berjalan dengan gontai dari dalam bar. Tampangnya berantakan. Kupikir ia pria yang dimaksud Jim. Apa ia akan menghampiri kami untuk memarahi Jim? Semoga Tuhan menjauhkannya dari kami. Aku menoleh ke arah Jim, memberi isyarat padanya.
                    “Oh, kau benar Loren, itu prianya.”
Saat Jim menoleh, pria itu berbelok ke sisi lain kapal. Tidak terlalu jauh dari kami. Jari-jari raksasanya mencengkram pagar pembatas. Tubuh gemuknya tampak tak dapat menahan bobotnya yang kelebihan lemak untuk tetap berdiri. Oleng sesaat dan ia runtuh. Tersungkur jatuh ke lautan.
                       Bagaimana ini?! Pria itu tercebur dan hanya kami yang melihatnya. Seseorang harus menolongnya. Kulihat  Jim segera berlari ke tempat terakhir pria itu berdiri. Melepas sepatu dan bersiap meloncat. 
                 “Jim!”
                “Aku harus melakukannya atau ia akan tenggelam, Loren!” 
Detik berikutnya ia telah meluncur bagai rudal yang membelah air di bawah sana. Tidak. Jim tak bisa menyelamatkan pria itu sendiri.
          “Tolong! Seseorang tenggelam! Tolong!” aku berteriak sekuat tenaga seperti orang sinting. Orang-orang mulai berlarian ke arahku. Seorang petugas kapal yang pertama tiba melemparkan sebuah ban penyelamat berukuran kecil.
                          “Apa kau gila? Ban itu bahkan tak mampu menahan tubuh gemuk pria itu! Temanku juga ada di bawah sana!” 
Petugas itu malah berlari sambil mengucapkan sesuatu yang tak dapat kudengar. Oh, mungkin ia tak bisa berenang, hebat sekali! Dan orang-orang yang berkerumun di sepanjang pagar pembatas hanya bisa melihat ke bawah sana dengan ngeri. Mereka cuma sampah di saat seperti ini.
                        Di mana Jim? Kenapa ia tak muncul-muncul juga ke permukaan? Aku tidak bisa menunggu. Aku harus meloncat saat ini juga. Persetan dengan sepatu dan celana jeans. Tanpa aba-aba, aku merasakan tubuh ini melayang, jatuh ke dalam air dengan cepat. Menunggu sampai tubuhku berhenti meluncur. Aku bisa mendengar suara orang-orang itu berteriak panik di atas sana.
                         Angin yang tadi terasa nikmat, sekarang menusuk-nusuk kulitku dengan tajam saat aku kembali ke permukaan. Aku masih bisa mengabaikannya, tapi ketika berenang adalah sesuatu yang sulit, di  situ lah kau harus panik. Bagus. Kakiku kram karena air yang membeku ini.
                    “Bertahanlah Nona! Kami akan menurunkan sekoci!” teriak suara seorang pria. Tenang saja, aku masih bisa mengambang.
               “Jim!” yang ada dipikiranku hanya pria itu. Tiga meter di belakangku, ia muncul di balik tubuh pria gemuk yang pingsan itu. Ia nyaris tenggelam. Tubuhku melemah, sesuatu menyerang kepalaku. Saat tegukan pertama air laut menyatu bersama lidahku. Aku tahu siapa Jim.
                                    ***
      Loren mengalami geger otak karena kecelakaan itu. Ia tak dapat mengingat apa pun. Siapa pun. Berkat terapi, sudah beberapa waktu ini ia mengalami kemajuan. Tidak semuanya. Ingatan itu datang seperti saat kau merasakan dejavu. Tapi ia masih belum mengingat siapa aku. Cincin tunangan kami masih melingkar di jari manisnya. Ia hanya mengira itu perhiasan biasa. Aku tidak ingin ia terlalu banyak berpikir. Tahu itu hanya membuatnya sakit.
  Hari ini, aku ingin mengajaknya ke tempat saat pertama kali kami bertemu. Berharap ia bisa mengingatnya. Tapi, pria tua gemuk bagai babi ternak yang akan dihidangkan di malam natal ini menunda rencanaku. Tidak hanya menunda, ia berhasil membuat Loren terjun bebas dari atas sana. Terhalang oleh tubuh pria tua ini, aku melihatnya tergagap di atas air. Separuh tenggelam. Tuhan pasti sedang menyiksaku, jika saja sekoci penyelamat tidak datang dengan cepat.
                      "Loren! Jangan lepaskan tanganmu dari ban itu!" ia tak menjawab, sekedar mengangguk pun tidak. Ya Tuhan, jangan ambil dia dariku saat ini. Sekoci sialan itu masih dua meter dariku. Dan seorang pria melompat untuk mengambil alih tubuh berat pria itu. 
                      Saat aku melihat ke arah Loren, ia tenggelam. "Loren!" Aku dipaksa merasakan ketakutan itu sekali lagi. Melawan arus, aku berenang secepat mungkin. Dengan satu tarikan nafas, mencoba mencapai kepalanya, lalu pipinya, leher..dan bahunya.
                 Ia terbatuk saat menghirup udara di atas permukaan. 
                        "Jimmy! Jimmy!" Loren memelukku erat. Bibirnya bergetar kedinginan. "Aku mengingatmu! Kapal ini, cincin ini juga!"
                      Kini aku percaya adanya mukjizat Tuhan. Bahkan kata-kata indah pun tak dapat melukiskan apa yang aku rasakan bersamanya saat ini. Berpelukan di antara ban penyelamat, di atas permukaan air yang terasa hangat.
                                       ***