Sunday, 16 November 2014

Bukan Mimpi

RS, Cahaya.
Rabu, 13 April 2011

03.50 PM

               Itu dia. Sederet bangunan putih dan beberapa pohon beringin tampak di depan sana. Aku memacu kedua kaki lebih cepat, secepat peluru nyasar jika bisa. Cuaca cerah hari ini berhasil membuat kepalaku terasa berdenyut. Aku berusaha mengabaikannya ketika melewati pohon beringin pertama, tampak begitu rindang. Bayangan teduh di bawahnya menggodaku untuk bersantai sejenak. Tapi tidak, sekarang giliranku untuk menjaga ibu.
                Aku menghela napas kecil ketika mengingat kondisi ibu yang baru saja selesai menjalani operasi pengangkatan tumor di sekitar rahimnya kemarin. Lalu, bayangan adik ibuku-yang telah menanti kedatanganku selama satu jam lebih di sana-melintas. Buru-buru aku berlari kecil di jalan yang sepi ini. Tentu saja, ini jalan belakang rumah sakit. Akan lebih cepat bagiku untuk sampai jika melewati jalan ini.
                Masih berjarak 14 meter dari pintu masuk, tiba-tiba saja turun gerimis. Tepat di saat kakiku berhenti di pohon beringin kedua. Hujan panas, batinku berbisik. Langkahku berhenti, mungkin tidak akan lama. Aku teringat ucapan seseorang, di saat hujan seperti ini akan banyak makhluk halus yang berkeliaran. Sialan.
                Aku mengurungkan niat untuk berteduh lebih lama lagi. Setelah memandangi seluruh bagian pohon rindang itu, aku berlari menuju gerbang. Tepat di saat hujannya mulai lebat.
                Kamar kelas 3 ini sangat bersih. Beruntung bagiku karena hanya ibu yang menempati kamar ini. Setidaknya aku bisa berleluasa di ranjang sebelah. Dengan selembar kertas A4, aku mulai membuat sketsa di atasnya. Berusaha membunuh kejenuhanku di tempat yang dipenuhi aroma obat dimana-mana.

                                                                              ***
                11.45 PM

               Sayup-sayup terdengar suara orang memanggil. Aku membuka mata, terkejut menyadari aku telah tertidur di kursi. Ibu sedang tersenyum menatapku. Rona pucat di wajahnya sudah sedikit memudar. Lalu ia terbatuk disertai ringisan kecil. Aku panik.
                “Kalau batuk jahitannya pasti sakit.” Bisiknya pelan.
                “Mama yang kuat, ya? Harus bisa tahan,” Aku berusaha menyemangati ibu, meskipun aku sangat tak tega melihatnya. Seandainya rasa sakit itu bisa dibagi, aku rela.
                Ibu kembali tertidur. Aku berencana untuk membeli beberapa makanan di cafetaria di ujung bangunan ini. Begitu melihat tumpukan roti, susu, minuman isotonik serta buah-buahan di atas meja kecil di sebelahku, rencana itu terurungkan.
                Saat menikmati makanan yang sebenarnya bukan untukku, aku mendengar suara gaduh melintas di lorong depan. Mungkin pasien yang di bawa ke UGD. Perasaan tak enak menyerbuku dengan bayangan aneh. Bagaimanapun, tidur di sini sama saja tidur bersama orang mati meski tak seruang. Aku menggeleng kecil, mencoba mengusir spekulasi tentang rumah sakit ini yang bisa membangkitkan bulu roma. Juga mengusir seekor nyamuk yang  terbang melintas di dekat telingaku bagai mobil F1.

***
01.25 AM

               Suara rintihan menyadarkanku dari tidur dengan posisi menyakitkan. Dengan malas aku menegakkan tubuh. Merenggangkan kedua tangan dan melemaskannya. Lebih baik jika aku pindah ke atas ranjang sebelah. Saat memutar tubuh itu lah, aku melihatnya.
                Tirai putih gading yang di tutup rapat di sekeliling ranjang sebelah ibuku. Wow. Sepertinya aku tertidur layaknya orang tewas. Bahkan ada pasien yang masuk pun aku tak menyadarinya. Samar-samar tercium aroma amis. Bukan amis seperti ikan, tapi darah. Kukira bau darah hanya seperti campuran antara karat dan garam. Uhg, aku tak tahan.
                Penasaran aku mencoba melirik ke balik tirai itu. Hening. Di sisi lain ranjang terlihat bagian yang tak tertutupi. Dengan langkah pelan hampir menjinjit aku mendekatinya. Tampak seorang ibu yang memeluk seorang bayi. Aku heran bayi itu hanya terdiam, tak bergerak. Mungkin sedang tertidur. Rambut sang ibu sangat berantakan, terikat asal begitu saja. Yang lebih mengagetkanku, seluruh bagian paha hingga ujung kakinya berlumur darah. Membasahi permukaan ranjang di sekitarnya dengan noda merah tua kecokelatan.
                Aku meringis dengan mimik ngeri bercampur iba. Wanita itu bergerak memunggungiku. Sepertinya ia menyadari kehadiranku yang mengintipnya diam-diam. Dengan perasaan tak nyaman aku kembali ke sisi ranjang ibuku. Memindahkan kursi ke sebelah kirinya. Lalu menutup rapat tirai di sekelilingku. Dengan sedikit gemetar, aku mengeluarkan earphone dari ransel, memasangnya dengan cepat dan menyetel lagu Ignorence milik Paramore dengan volume tinggi. Sampai aku tertidur lagi.

***
05.37 AM

                Kali ini, sebuah tepukan dan guncangan kecil di punggung yang membangunkanku. Pandanganku masih kabur ketika melihat sosok putih dan hitam yang berdiri di sekitarku. Aku menggucek pelan, ternyata suster dan kakak.
“Kenapa kamu tutup tirainya? Tumben gak tiduran di ranjang,” tanya kakak, tangannya sibuk mengupas kulit jeruk. Aku teringat wanita kemarin, mungkin aku bisa mengobrol dengannya sekarang, sekaligus meminta maaf karena telah mengintipnya diam-diam.
Aku melirik ke arah ranjang sebelah. Hampir saja aku terkena serangan jantung saat melihat ranjang yang putih bersih dengan tirai yang tersingkap.
“Suster, semalam ada pasien yang masuk ke kamar ini, ya? Sekarang dia ada di  mana?” tanyaku penasaran. Suster itu merengut.
“Gak ada pasien yang masuk kok, dek. Kenapa?” ungkapnya dengan melempar balik pertanyaannya kepadaku.
Hei! Apa ini? Aku yakin 100% wanita dengan bayi dan darah itu ada di situ. “Emm..Enggak ada apa-apa,sih. Pengen tahu aja,” jawabku berbohong. Tidak mungkin aku bermimpi. Semuanya sangat nyata.
“Dek, itu leher sama tangan kamu kenapa?” tanya kakak, ada nada khawatir tersirat di dalamnya. Aku menoleh, mendapati bentol-bentol dengan bentuk dan ukuran yang  tak wajar menghiasi tubuhku. Terasa sangat gatal dan panas ketika aku menyadarinya. Aku berseru panik.
“Kamu gak ada salah makan kan?” tanyanya lagi, aku menggeleng. Aku tak punya alergi pada apa pun kecuali debu dan asap.
“Apa semalam kamu mandi di sini? Mungkin airnya yang buat alergi.”
Aku terhenyak beberapa saat untuk berpikir. “Kemarin, pas hujan panas aku sempat berteduh di bawah pohon beringin di belakang, Kak. Habis itu, aku lupa bersihin badan.”

“Hmm..mungkin karena kemarin nih, Dek. Takutnya ada yang ngikutin kamu.” Sahut suster itu.
                                                                   ***

No comments:

Post a Comment