***
Briana terjatuh di atas rerumputan kasar yang lembab. Tak jauh dari sebuah sungai kecil yang dipenuhi bebatuan merah. Ia berdiri dengan sedikit tertatih, menatap sekelilingnya dengan siaga. Mungkin saja ada prajurit lain yang menyusulnya ke sini, berusaha membawanya kembali ke kota Neal. Tidak, para prajurit itu tak akan bisa menghentikannya. Ia telah bertekad untuk menemukan permata itu di sana, ia tak ingin kembali dengan sia-sia.Sebuah monitor kecil—dengan model jam tangan—terbuka dipergelangan tangan kirinya. Sesosok pria tampan muncul di dalamnya. "Di mana aku sekarang? Apa aku telah sampai di portal ketiga?" Tanya Briana pada pria yang mencoba mengamati lingkungan hijau di sekelilingnya. Semua tanaman di sana besar-besar. Seolah Briana menyusut menjadi liliput. "Kurasa, ya. Alam disekitarmu mirip dengan keadaan bumi ratusan juta tahun lalu." Pria itu mengusap-usap dagunya yang mulus. "Jadi, bagaimana dengan makhluk itu? Binatang yang kau ceritakan padaku? Apa mereka di sini" Briana berkata dengan suara sedikit bergetar. Meskipun ia berani, tapi ada secercah perasaan was-was dibenaknya. "Kau membawa kapsul kecil itu? Aku menyimpan sebuah senjata untuk melindungimu di dalamnya." Ucapnya datar. Briana mengangguk kecil, merasa kesal dengan nada bicaranya yang selalu formal. "Makhluk sejenis Kaiju itu hanya beraktivitas di malam hari. Kau masih punya beberapa jam lagi untuk mencapai puncak gunung di belakang bukit itu." Tambahnya lagi. Briana menoleh ke arah bukit kecil di belakangnya. Gunung itu sangat tinggi, mustahil ia akan sampai di sana dalam waktu cepat. Meskipun data tentang tiga portal kuno yang ia dapat dari Joan—cowok tampan yang aneh—itu diyakininya telah valid, sedikit sirna ketika ia menatap hamparan gunung hijau itu. Ada yang aneh di sana. Seperti...sesuatu telah menanti kedatangannya. Setidaknya itu yang ia rasakan saat ini. "Jauhi hutan dan gua, intinya kau harus berada di tempat yang lapang." Saran Joan dengan cepat. "Ku harap senjata ini berfungsi." Ucapnya pelan, menutup layar monitor dengan lambat.
***
"Kenapa kalian begitu ceroboh?!" Seru komandan Voltair. Ia memarahi orang-orang yang telah bertugas mengejar Briana. Semuanya menunduk. Komandan Voltair membalikkan badannya, menghadap dinding kaca di seberangnya. Kerutan-kerutan di wajahnya terbentuk jelas jika ia marah. Kepalan tangannya juga semakin kuat. Tak ada objek untuk melampiaskan kekesalannya saat ini.
"Joan! Apa kau telah menemukan lokasi dimana Briana sekarang?" Tanya komandan Voltair, menghampiri anak buahnya yang menatapnya lurus ke depan.
"Sudah, Sir. Ia telah sampai di portal ketiga." Ucapnya datar. Mata birunya tak menatap komandan Voltair.
"Bagus. Sekarang kalian bersiap untuk melintasi portal yang telah dilewati Briana tadi." Perintah komandan Voltair dengan nada tegas. Tak terbantah.
"Tidak, Sir." Sahut Joan dengan nada datar lagi.
"Apa kau ingin membantah perintahku?" Tanyanya dengan suara meninggi. Jelas komandan Voltair merasa tersinggung jika ia dibantah. Ia terlalu keras kepala.
"Tidak, aku tak bermaksud begitu, Sir. Bagaimana pun, portal itu hanya bisa dilewati sekali. Jika ada orang yang melintasi portal itu setelahnya, sudah dipastikan bahwa ia akan menghilang entah ke mana. Mungkin saja orang itu bisa menghilang melampaui cosmic horizon. Kita tak akan pernah bisa menemukannya." Jawab Joan dengan serius, mereka semua yang memperhatikan berubah gusar. Jelas mereka sangat ragu untuk melewati portal yang baru saja dilalui Briana beberapa saat lalu. Komandan Voltair juga gelisah. Pikirannya sedang buntu.
"Kita tak bisa membiarkannya bermalam di sana. Terlalu berbahaya." Sanggah komandan Voltair, mencoba mendapat dukungan dari prajuritnya.
"Aku akan mencari jalan lain. Mungkin aku bisa menyadap beberapa satelit di luar sana. Ingat, di tubuh Briana ada chip pelacak." Joan berkata dengan cepat. Komandan Voltair mengangguk sekali, mempersilahkan Joan untuk meninggalkan ruang kacanya.
***
Sekarang memang masih siang. Tapi ia bisa melihat beberapa planet hampa di ujung sana, bersama asteroid di sekelilingnya. Ia telah melintasi beberapa galaksi melalui dua portal kuno yang tersebar di beberapa planet yang baru saja ia kunjungi. Sekarang Briana telah sampai di portal ketiga, yang terakhir menurut Joan. Ia menembus semak-semak lebat dengan pedang yang dialiri listrik berdaya tinggi. Kulitmu akan hangus jika tersentuh dengan ujungnya. Ia berjalan sangat cepat, hampir berlari. Berusaha mencapai tebing di ujung sana. Briana tahu ada sesuatu yang mengamatinya di balik bayang-bayang pepohonan. Sesuatu yang besar dan bengis.
Briana sampai di ujung tebing. Aneh, ia tak merasakan lapar atau haus di dari tadi. Apa mungkin ini efek dari melintasi portal-portal tadi? Briana kembali melihat sekitarnya. Ia memanjat perlahan, hingga sampai di puncak bukit yang dekat dengan tujuannya. Tak ada pepohonan dari bukit hingga ke gunung itu. Briana merasa sedikit lega, ia yakin makhluk sejenis Kaiju itu tak akan mendekatinya. Monitor kecil di pergelangannya kembali terbuka. Joan. Ia tampil dengan wajah panik.
"Sekarang apa lagi? Apa ada masalah dengan tempat lapang?" Tanya Briana sarkatis.
"Ini demi keselamatanmu, Briana." Sahut Joan lembut.
"Komandan Voltair telah tahu keberadaanmu, ia akan mengirim beberapa prajurit ke sana. Hati-hati." Ucap Joan, "Ingat, kau harus mendapatkan batu permata itu sebelum mereka. Kau dalam bahaya." Sambungnya lagi. Briana hanya terdiam. Ia memang berada dalam bahaya sejak melangkah ke portal pertama. Itu tak mengagetkannya. Joan mematikan sambungan mereka.
***
Entah ini dinamakan malam atau apa di planet ini. Yang jelas, semuanya sangat gelap. Briana memilih menghentikan langkahnya di sini, ia tak yakin apa yang akan di temuinya di depan sana. Tapi ada satu yang menarik perhatiannya di sini. Begitu banyak kilatan cahaya.
Ada sebuah suara gaduh di bawah sana, di dalam lebatnya hutan. Mungkin beberapa kaiju sedang bergulat di sana. Lalu, sebuah hembusan angin yang kuat menerpanya. Ia terpelanting ke belakang dengan kaget. Briana merasakan nyeri hebat di kepalanya. Samar-samar, ia melihat sesuatu yang tingginya kira-kira empat meter mendekatinya. Kulit makhluk itu bercahaya. Sangat indah. Briana melupakan ketakutannya atas merasa terancam. Ia sungguh terpesona dengan makhluk itu.
Ia bangkit perlahan. Menatap makhluk yang berdiri tepat di depannya. Makhluk itu mengulurkan tangannya perlahan, entah itu pantas disebut tangan atau tidak tapi tampak seperti itulah bagian tubuhnya itu. Briana mundur selangkah, mungkin makhluk itu ingin melukainya batinnya berbisik. Ternyata dugaannya salah, makhluk itu tak menyerangnya. Ia menempalkan sesuatu yang tampak seperti tangan itu ke kening Briana. Lalu, beribu gambar tersingkap di otaknya, di dalam pikirannya.
Briana terkesiap. Ia tahu semuanya sekarang. Makhluk ini, makhluk sejenis Kaiju yang ditemuinya ini bukan pemangsa. Joan salah. Baru saja makhluk ini mentransferkan sebuah pengetahuan baginya. Mereka memiliki kemampuan seperti telekinesis. Mereka juga bisa mengetahui masa lalu Briana dengan menyentuhnya. Mereka tahu kalau Briana seorang putri. "Aku mencari sesuatu, permata biru." Ucap Briana melalui pikirannya. Lalu gambar itu terlintas, permata biru yang indah. Berada di puncak gunung. "Apa kau bisa mengantarkanku berjalan ke sana?" Tanyanya lagi. Makhluk itu menolak. Briana memejamkan matanya, menghembuskan napas hangatnya perlahan, kecewa. Lalu, betapa kagetnya ia sekarang. Bagaimana caranya ia bisa sampai ke puncak gunung secepat itu? Ia berdiri diantara bebatuan merah bercahaya. Tapi ia tak bisa menemukan permata biru itu. Sejauh ia memandang, hanya ada bebatuan merah. Makhluk itu masih di sampingnya. "Di mana permata biru itu?" Tanya Briana kebingungan. Tangan makhluk itu menyentuhnya lagi. Briana terjatuh karena langkah mundur tiba-tibanya. Joan salah lagi. Permata biru itu tak pernah ada.
Awalnya permata biru itu hanya sebuah mitos bagi mereka yang menginginkan kekuatan luar biasa. Melampaui semua kekuatan di jagat ini. Tapi makhluk itu telah memusnahkan permata biru itu di dalam diri mereka kerena banyak makhluk lain yang ingin mendapatkannya dengan mengganggu mereka. Akhirnya, zat yang terkandung di dalam permata biru itu merubah sel-sel dan sistem jaringan tubuh mereka. Dan benar, permata biru memiliki kekuatan.
Ia bingung mengapa Joan bisa sekeliru ini. Meskipun Joan telah mengalami pembekuan Cyrogenic selama beberapa dekade, ia yakin bahwa kecerdasan Joan adalah kunci utamanya berada di sini. Di Alaestar.
"Apa Joan ingin menipuku?" Ucap Briana mengeluarkan senjatanya.
No comments:
Post a Comment